Sabtu, 22 Januari 2011

Jangan Bohong Lagi, Sayang!

Kompas Cetak : Sabtu, 22 Januari 2011 | 04:49 WIB
SETO MULYADI
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Bukan yang congkak, bukan yang sombong/
Yang disayangi handai dan taulan/
Hanya anak yang tak pernah bohong/
Rajin belajar, peramah dan sopan


Lagu ini cukup populer beberapa puluh tahun silam dan banyak diajarkan oleh para guru taman kanak-kanak kepada murid-muridnya.

Selain lagunya indah dan mudah diingat, isinya juga amat bagus untuk pendidikan karakter anak-anak. Pesannya pun jelas. Mengajak anak-anak untuk tetap rendah hati dan tidak sombong. Juga selalu bersikap jujur dengan berani mengatakan apa adanya alias tidak berbohong.

Bisa saja seseorang berbuat salah, tetapi ia berani untuk mengakui kesalahannya. Mengakui kesalahan bukan berarti lemah. Justru sebaliknya, berani mengakui kesalahan menunjukkan adanya kekuatan untuk berani mengungkapkan kejujuran dengan tetap rendah hati.

Rajin belajar juga dapat diartikan sebagai kemauan untuk belajar dari kesalahan. Bahwa setiap orang bisa salah, tetapi dengan belajar dari kesalahan, seseorang bisa berbuat lebih baik lagi di masa depan dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Itulah inti pelajaran lagu yang ditularkan oleh para guru TK beberapa puluh tahun lalu kepada murid-muridnya.

Kini, para murid itu tentu sudah besar. Sudah tumbuh menjadi manusia dewasa yang tersebar di mana-mana. Ada yang menjadi artis, olahragawan, guru, politisi, bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden. Sementara para guru TK tentunya juga sudah berusia lanjut. Tidak lagi mengajar dan tinggal di rumah menikmati masa tuanya.

Ingat nasihat

Meski miskin materi, para guru akan bahagia apabila murid- muridnya tersayang tetap ingat akan nasihat-nasihatnya dulu, termasuk moral dari lagu anak-anak yang diajarkan.

Bahwa meski sudah menjadi orang penting, janganlah lalu menjadi congkak atau sombong. Tetaplah rendah hati, peramah, dan sopan. Maka, kalau sudah menjadi pemimpin dan diberi kepercayaan oleh rakyat, tentu juga harus tetap ingat akan amanat rakyat yang memercayainya sebagai pemimpin.

Apabila gagal menjalankan tugas atau belum dapat memenuhi janjinya saat kampanye, pemimpin juga harus berani mengakuinya secara jujur. Bahkan bila perlu berani meminta maaf. Bukannya justru hanya sibuk mencari- cari alasan atau bahkan kemudian berbohong lagi dengan memanipulasi data.

Apabila memperoleh kritik sebagai upaya untuk mengingatkan atau menyadarkan adanya hal yang tidak benar, juga tidak harus kebakaran jenggot. Lalu berputar- putar mempersoalkan istilah yang kurang berkenan di hati. Kalau ajaran para guru itu masih diingat, para pemimpin justru dengan jiwa besar menyampaikan terima kasih dan kemudian bersama-sama memperbaikinya.

Ini semua yang sangat diharapkan oleh para mantan guru TK terhadap murid-muridnya yang kini sudah menjadi orang besar. Namun sayang seribu sayang, harapan tersebut tampaknya hanya tetap tinggal harapan. Kenyataan di lapangan banyak berbicara lain.

Kesombongan dalam bentuk tindak kekerasan seolah merebak di mana-mana bagai cendawan di musim hujan. Sejumlah tindak kekerasan muncul di mana–ma - na. Apakah itu di dalam keluarga, di sekolah, ataupun di tengah masyarakat. Tengok saja saat berlangsung pemilihan kepala daerah, pertunjukan musik, pertandingan sepak bola, sampai ke kasus perusakan tempat-tempat ibadah, semua penuh kekerasan karena merasa paling ”benar” dan paling kuat.

Masih bohong

Kebohongan pun seolah menjadi nyanyian merdu yang terdengar hampir di seluruh negeri. Tengoklah berita tentang 155 kepala daerah, di mana 17 di antaranya adalah gubernur, tersangkut masalah hukum. Belum lagi kasus narapidana yang dengan mudahnya bisa melenggang berwisata ke Bali dan mancanegara, kasus bank bermasalah yang masih menggantung, sampai para calon kepala daerah yang bisa berkampanye dengan biaya puluhan miliar. Semua adalah cerita kebohongan.

Betapa sedih para mantan guru TK saat melihat itu semua. Untunglah masih ada angin segar yang mengembus dari para tokoh lintas agama. Mereka dengan hati jernih berani lantang menyuarakan kebenaran. Maka, para guru pun akhirnya bisa tersenyum bahagia: ternyata sebagian murid masih ingat dan berani menyuarakan ajarannya.

Terlebih apabila akhirnya para pemimpin dengan jiwa besar berani mengakui kesalahan, memperbaiki kesalahan, dan menghentikan berbagai kebohongan.

Lengkaplah sudah kebahagiaan para mantan guru TK itu. Mereka akan mengacungkan jempol sambil berkata, ”Jangan berbohong lagi ya, sayang!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar