Jumat, 04 Februari 2011

Mesir: Pangan, Minyak, Revolusi

M. Jusuf Kalla
Wakil Presiden RI (2004-2009)

Mesir, yang mempunyai sejarah panjang dengan peradaban yang tinggi sebanding dengan China di Asia Timur, sangat bangga pada masa lalunya. Orang datang ke Mesir pada dewasa ini umumnya ingin melihat masa lalu itu, piramida, Sphinx, dan lain-lain, sehingga sering orang mengatakan bahwa Mesir masih dihidupi oleh Firaun yang membuat piramida-piramida itu.

Begitu juga pendidikan, terkenal Al-Azhar yang merupakan universitas tertua di dunia yang menjadi kebanggaan dan menerangi dunia Islam sampai sekarang. Pendapatan per kapita Mesir hampir sama dengan Indonesia, yaitu 3.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun.

Mesir, yang berpenduduk sekitar 83 juta orang dengan Sungai Nil yang memanjang, sebenarnya negeri yang subur, khususnya sepanjang aliran sungai yang sering banjir. Apalagi dengan Bendungan Aswan yang dibangun pada tahun 1950-an oleh Rusia, yang memberi air untuk lahan pertanian yang luas.

Sampai tahun 1990-an, negara ini masih swasembada gandum dan beras, malah bahan pangan pokok diekspor untuk negara-negara Timur Tengah. Kita pernah mengimpor beras dan gandum dari Mesir pada tahun 1980-an.

Mesir juga mempunyai minyak walaupun tidak sebanyak Arab Saudi atau Kuwait. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1996 dengan volume 900.000 barrel per hari. Sejalan dengan naiknya harga minyak setelah tahun 1970-an, hasil minyak tersebut dipakai untuk menyubsidi harga pangan untuk rakyat yang cukup besar.

Akibatnya, rakyat juga tidak terdorong untuk meningkatkan produksi pangan sehingga produksi pangan terus menurun dan sekarang Mesir sangat bergantung pada impor gandum dari Amerika dan Australia serta beras dari Thailand dan Vietnam.

Di lain pihak, produksi minyak yang mencapai puncaknya pada tahun 2006 menurun sampai 600.000 barrel per hari pada tahun lalu. Jumlah ini tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan dalam negeri sehingga subsidi bahan bakar minyak pun meningkat dengan tajam.

Dipicu Harga Pangan

Situasi yang berat muncul pada saat yang bersamaan, yaitu harga pangan dunia yang naik bersamaan dengan produksi minyak yang menurun dengan harga tinggi. Pemerintah dihadapkan pada subsidi dobel untuk pangan dan minyak yang tinggi dengan akibat lebih lanjut defisit sebesar 8 persen dari produk domestik bruto. Sebagai perbandingan, untuk Indonesia angkanya 1,5 persen dari produk domestik bruto.

Kalau Amerika Serikat dapat menutup anggaran dengan mencetak terus dollar AS dan menjual ke China, siapa yang mau membeli pound Mesir? Akibatnya, tahun 2010 inflasi mencapai 13,4 persen dan berakibat terhadap menurunnya kemampuan keuangan negara untuk reformasi ekonomi.

Karena 40 persen kebutuhan pangan diimpor, Mesir sangat rentan pada gejolak harga pangan dunia. Pada krisis pangan 2008 sebenarnya sudah mulai terjadi gejolak di Mesir. Saat itu karena adanya kenaikan harga roti, tetapi masalah ini dapat diselesaikan dengan keras. Namun, akibat dari keadaan itu, pengangguran dan kemiskinan juga bertambah, dan ini menyebabkan masalah-masalah sosial mudah timbul.

Revolusi Tunisia

Revolusi Tunisia pada awal tahun ini, yang menurunkan Presiden Ben Ali setelah berkuasa selama 30 tahun, juga dengan sebab yang sama: pangan. Harga pangan yang tinggi dengan tingkat pengangguran yang tinggi di bawah pemerintah otoriter yang korup menyulut gerakan massa dengan cepat untuk marah. Dalam waktu lima hari Ben Ali melarikan diri.

Revolusi Tunisia ini menyulut Mesir dengan cepat karena situasi sosial masyarakat memang sudah membara dengan kekecewaan dan selama ini tanpa daya karena otoriternya Presiden Mubarak.

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah cara berevolusi dewasa ini. Dulu, setiap revolusi dimulai dengan menduduki stasiun radio atau televisi karena ada sentral informasi dan dibutuhkan pemimpin untuk mempersatukan, seperti Imam Khomeini di Iran.

Sekarang, dengan adanya media sosial, internet, dan SMS, tidak dibutuhkan lagi pemimpin besar dan tindakan merebut stasiun radio. Sebab, orang saling memimpin dan berhubungan langsung dengan waktu, detik. Pemimpin dicari kemudian, seperti ElBaradei di Mesir.

Apakah Mubarak akan jatuh atau tidak, kita tunggu, tetapi kalau ditanya apakah bisa bertahan, saya yakin Mubarak sulit untuk bertahan dalam kondisi ini. Karena di samping otoriter, Mubarak juga dinilai membangun dinasti yang korup.

Selama ini Mesir cukup stabil karena Mubarak sangat dekat dengan Amerika Serikat dan Israel walaupun Mesir tidak demokratis (AS menyerang Irak dengan alasan demokrasi). Dengan kedekatan Amerika Serikat membantu dengan dana miliaran dollar AS per tahun, Mubarak menjamin keamanan Terusan Suez untuk pengangkutan minyak dari Timur Tengah ke Amerika dan Eropa yang setiap harinya dilalui tanker-tanker yang memuat sekitar 3 juta barrel minyak.

Amerika Serikat, Israel, dan juga negara-negara kaya di Timur Tengah takut jika Mesir dikuasai pemerintah garis keras seperti Ihwanul Muslimin yang sejalan dengan Hamas dan Hezbollah di Lebanon yang dapat mengontrol lebih ketat Terusan Suez dengan cara membatasi atau menaikkan bea lewat sehingga jalur minyak menjadi terganggu atau mahal.

Hal ini wajar saja karena kalau Mubarak turun, bantuan Amerika Serikat pasti menurun dan, kalau pemerintah baru ingin cepat memperbaiki ekonomi, maka yang paling mungkin pendapatan dari Terusan Suez dinaikkan. Dan, ini akan berakibat terhadap naiknya harga minyak dunia yang mempunyai implikasi yang panjang, termasuk akibatnya ke Mesir sendiri dan negara-negara lain seperti Indonesia.

Apa yang Harus Dipelajari?

Apa yang perlu dipelajari dari keadaan yang kacau di Mesir dan Tunisia agar jangan terjadi di Indonesia? Kondisi dan gerakan massa dapat terjadi di mana saja apabila mengalami krisis yang sama. Sebenarnya, kondisi Mubarak sekarang sama dengan kondisi Soeharto yang jatuh 13 tahun yang lalu karena otoriter, KKN, serta adanya krisis pangan dan pengangguran sehingga mudah menyulut perlawanan rakyat.

Pemerintah otoriter atau dinasti tentunya harus dihindari dan dicegah.

Kita bersyukur bahwa Indonesia negara demokratis walaupun sering dengan ongkos yang mahal sehingga cenderung menjadi investasi yang harus kembali, artinya peluang korupsi. Kita negara dengan KKN skala yang tinggi. Karena itu, kita harus mengatasi dengan segala cara, baik KKN di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, termasuk polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, secara efektif.

Karena pemicu dari hampir semua perlawanan dari gerakan rakyat adalah harga pangan yang tinggi, maka peningkatan produksi pangan agar swasembada harus dijalankan, dan kita mampu untuk itu.

Tahun 2008 dan 2009, Indonesia sudah swasembada beras, tetapi tahun 2010 kita kekurangan lagi. Artinya, produksi menurun, yang akibatnya impor beras lagi, harga-harga dan inflasi naik.

Semua itu dalam kerangka kebijakan ekonomi yang memihak pada produksi dalam negeri untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan serta lapangan kerja secara bersamaan, termasuk evaluasi subsidi yang tepat untuk pangan dan bahan bakar minyak.

Kebijakan ekonomi yang adil diperlukan sehingga gap antara yang kaya dan miskin bisa dikurangi. Pengalaman perjalanan bangsa sendiri dan bangsa-bangsa lain harus menjadi perhatian untuk menjalankan pemerintahan yang baik dan aman oleh pemimpin bangsa.

(Sumber : Kompas Cetak, Sabtu, 05 Februari 2011)