Sabtu, 31 Januari 2009

Terhormat

Minggu, 25 Januari 2009 | 02:03 WIB 
Samuel Mulia

Pada suatu hari saya bersama dua teman duduk-duduk menikmati sore yang mendung, atau saya lupa antara mendung dan menjelang malam.

Kami menyeruput minuman hangat dan kue kering yang menggemukkan. Satu dari teman saya bercerita. Cerita yang memberi saya inspirasi untuk tidak hanya menulis parodi minggu ini, tetapi mengevaluasi diri saya sendiri sebagai makhluk sosial, sok sial atau sial beneran. Begini ceritanya.

Adalah seorang tokoh, dia bertemu dengan teman saya dan seorang bawahannya. Pertemuan itu dibuat dalam rangka acara kumpul-kumpul sang tokoh dan konco-konconya dan teman saya bersama bawahannya itu menjadi penyelenggara acara itu. Bawahannya itu perempuan yang dianugerahi Tuhan Sang Pencipta bentuk badan aduhai dan payudara yang sama aduhainya.

Singkat cerita pertemuan itu berakhir. Beberapa waktu kemudian, teman saya itu ditelepon oleh sang tokoh untuk mengingatkan kalau acara kumpul-kumpul itu dilaksanakan ia mau bawahan teman saya itu berpakaian sopan. ”Jangan membuat saya malu. Yang akan hadir adalah teman-teman saya. Orang-orang terhormat.”

Bingung

Orang-orang terhormat. Itulah yang menggelitik. Menggelitik nurani saya untuk bertanya apa arti terhormat dan apakah saya masuk dalam kelompok itu?

Setelah pertemuan yang terjadi dua minggu lalu itu saya tak bisa konsentrasi. Kemudian saya berbicara dan berpikir untuk mengerti kata itu tanpa melihat kamus untuk tahu apa arti kata terhormat sesungguhnya.

Sebagai penulis, saya mulai keder dengan kata itu. Apakah selama ini tulisan saya telah membuat orang berpikir saya penulis terhormat? Kalau ya, apakah itu karena saya menulis di harian ini yang memang dianggap sebagai medium yang bisa membuat seorang menjadi terhormat? Karena harian ini sangat canggih, bahasa dan laporannya sangat akurat dan inggil. Jadi, saya terhormat bukan karena tulisan, tetapi karena kena imbas akan keterhormatan koran ini.

Sebaliknya apakah koran ini khususnya edisi Minggu menjadi tidak terhormat atau kurang dibandingkan edisi biasanya karena ada tulisan saya yang sama sekali tak membahas soal Obama, soal politik, serta soal ekonomi dan keuangan? Tulisan yang jauh dari memampukan orang mengernyitkan dahi, terlalu ringan dan mudah dimengerti, terlalu ecek-ecek, tulisan kepret.

Kemudian saya berandai-andai mendapat penghargaan Nobel karena tulisan kepret itu. Apakah kemudian saya penulis kepret ini mendadak terhormat di mata orang? Atau kemudian saya memandang diri sendiri menjadi penulis terhormat? Kemudian saya minta diganti status saya pada akhir tulisan, bukan sebagai pengamat mode dan gaya hidup lagi, tetapi menjadi pemenang Nobel.

Saya terus bertanya. Apakah kalau saya bergaul dengan pemabuk dan pelacur, saya berarti tak memiliki teman-teman terhormat? Apakah saya harus duduk dengan para bankir kondang, politikus, dan koruptor kondang? Apakah koruptor bukan manusia terhormat?

Buat saya mungkin tidak, tetapi buat anak-istrinya yang tiba-tiba bisa pakai mobil mewah dan bisa menyelesaikan pendidikannya di sekolah terbaik, ia adalah manusia yang akan dihormati anggota keluarga. Bagaimana tidak, ia bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya. Bingung, bingung, bingung … aku bingung.

Mbak Monica

Kemudian saya terbayang pada kasus Mbak Monica Lewinsky dan Pak Clinton. Apakah tindakan Mbak Monica itu terhormat?

Nurani saya bilang, ”Yaaa… enggaklahhh, jeung….”

Namun, menurut saya, ia terhormat. Karena si Mbak melakukan hal-hal enak itu dengan Sang Presiden, yang pasti dianggap manusia terhormat. Jadi, dia terhormat karena melakukan dengan orang terhormat. Sama mungkin kalau saya kumpul-kumpul dengan kalangan terhormat, apa pun bentuk dan kegiatan yang dilakukan, maka saya di asosisasikan terhormat. Bukankah begitu?

Kemudian saya bertanya lagi, kalau saya diundang Mbak Monica untuk acara jamuan minum teh, akankah saya datang memenuhi undangan itu? Karena kalau saya hadir, bisa jadi saya diasosiasikan sebagai salah satu anggota ikatan pengganggu manusia terhormat.

Saya jadi ingat lagi soal tangan kiri dan tangan kanan. Contoh yang berkali-kali saya tulis karena mungkin sudah tak ada contoh lain. Saya tak pernah menghormati tangan kiri karena saya diajar tangan kiri itu kotor.

Sekarang saya berpikir, tangan kiri itu sangat terhormat, selain mulia, karena ia diciptakan untuk membersihkan yang kotor. Dan, seingat saya, tangan kiri itu justru tak pernah mengotori. Sekali lagi ia diciptakan untuk membersihkan yang kotor. Terhormatkah itu? Apakah karena membersihkan hal yang kotor, ia menjadi tidak terhormat. Bagaimana kalau dilihatnya dari sisi hal membersihkannya, yang kalau diterapkan dalam keseharian belum tentu semua orang bersedia melakukannya. Termasuk saya.

Obrolan sore menjelang malam itu melintas lagi di benak saya. Kalau bawahan teman saya itu diciptakan demikian dan cara berpakaiannya yang sopan masih saja mampu membuat orang terganggu, apakah itu seratus persen kesalahannya? Tidakkah mata yang menilai juga memiliki andil dalam menilai seseorang terhormat atau tidak?

Belum lagi kalau memperhitungkan mata itu memang mata yang dari sononya sudah biru seperti film esek-esek, tetapi tak kelihatan karena mata ”biru” itu dimiliki manusia terhormat. Saya belajar sesuatu, kalau saya mau menilai, mungkin mata saya dulu yang perlu dibenahi. Kalau perlu pakai kacamata dan kalau tak bisa juga, mending dicungkil saja.

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

Kilas Parodi

VIP atau VIP?

1. Saya pernah beberapa kali mendapat undangan dengan tulisan di sisi kanan atas tiga huruf sakti VIP dan beberapa VVIP. Terhormatkah saya dibandingkan dengan mereka yang tak VIP?

Harus saya akui, yaaahhh … saya merasa senang karena duduk terdepan bersama manusia terhormat itu. Untuk sesaat saya merasa juga terhormat. Tetapi setelah itu, setelah saya pulang ke rumah, saya pulang ke rumah orang yang menyimpan saya. Atau ke rumah yang atas nama saya, tetapi didapat dari hasil lenguhan. ”Kudaaa… kale,” nurani saya berkicau seperti biasa.

Masihkah saya terhormat? Ternyata terhormat itu bisa jam-jaman seperti ke panti pijat. Saat tertentu saya benar VVIP atau VIP alias very very important person, tiga jam kemudian saya masih tetap VVIP atau VIP, alias very very idiot person.

2. Nama yang saya pakai sehari-hari adalah seperti yang Anda baca pada akhir artikel ini. Padahal, saya punya nama tengah. Budiawan. Dulu dan sampai sekarang saya malu mengapa bapak saya memberi nama tengah demikian.

Bukan soal jelek atau bagus, hanya saja dampaknya yang harus saya tanggung. Budiawankah saya? Seseorang yang berbudikah saya? Karena kalau saya berbudi apakah itu juga terhormat?

Masalahnya perjalanan hidup saya memperlihatkan bahwa saya jauh dari berbudi. Apalagi kalau Anda tanyakan kepada teman saya dan mereka yang membenci saya sampai hari ini. Saya tak menyalahkan mereka. Karena memang demikian adanya.

Jadi, nama saya itu memberatkan saya, mengharuskan saya melakukan perilaku yang sesuai dengan nama. Mau ganti nama malah makin malu saja. Bisa jadi ada baiknya ayah saya memberi nama saya begitu, supaya bisa sebagai pagar untuk tidak hidup nyeleneh. Siapa tahu saya bisa terhormat dengan itu. Hi-hi-hi....

3. Terhormatkah saya kalau saya ini keturunan darah biru? Saya tak mengerti mengapa disebut darah biru lha wong darah itu merah.

”Itu bedanya sama kamu, Jeung. Merah itu standar, enggak berkelas. Semua orang darahnya merah. Sama saja. Untuk berbeda maka biru saja. Jadi ketok bedo. Terpinggirkan dan yang tak terpinggirkan,” nurani saya berbunyi lagi.

Terus saya berbicara di dalam hati. Tetapi, biru itu kan artinya enggak selalu bagus. Film biru. I’m feeling blue, misalnya. ”Walah kalau itu I ndak ikut-ikut,” nurani saya berkomentar lagi. Saya suka lupa kalau bicara sendiri itu yaa… bicara sama nurani saya. Saya ini memang bego, sukanya memancing macan tidur. ”Mas, mancing itu ikan, bukan macan tidur,” kata nurani itu lagi. (Samuel Mulia)

Sampah Ciliwung Sumber Rupiah



KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Petugas rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau yang terletak di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, menggiling sampah organik sebelum diolah menjadi kompos, Rabu (28/1). Setiap hari rumah kompos di bawah naungan Sanggar Ciliwung tersebut mengolah 40 kilogram sampah organik dari lima rukun tetangga di kawasan tersebut. Rumah kompos yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat tersebut dimaksudkan mengurangi pembuangan sampah ke sungai.
/
Jumat, 30 Januari 2009 | 08:30 WIB

Usaha mengatasi masalah sampah, termasuk sampah Ciliwung, tak hanya dapat dilakukan dengan mencari alternatif tempat pembuangan akhir lain. Solusi masalah sampah juga bisa ditemukan dengan menumbuhkembangkan pandangan bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi yang menguntungkan.

Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Apakah sampah bisa menjadi pemicu bencana banjir atau menghasilkan rupiah, itu sangat bergantung pada sikap warga menghadapi limbah rumah tangga yang jumlahnya melimpah di Sungai Ciliwung.

Jika dikelola dengan baik, sampah ternyata tak selalu jadi masalah. Sanggar Merdeka Ciliwung, kelompok pemberdayaan masyarakat bantaran Ciliwung di RT 5 dan 8 RW 12 Bukit Duri, Jakarta Selatan, telah membuktikannya. ”Sekarang ada sepuluh orang yang terlibat bisnis sampah. Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat (39), seorang warga Kelurahan Bukit Duri.

Sampah yang menjijikkan mampu mereka olah hingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan mengolah sampah menjadi kompos sekaligus mendidik warga untuk mau memilah sampah. Meskipun pemisahan antara sampah organik dan anorganik oleh warga belum sempurna, langkah ini mampu mengubah gaya hidup warga bantaran kali dan mengajak mereka untuk hidup lebih sehat.

Dari 50-80 kilogram sampah organik, yang terdiri atas sayuran, sisa makanan, dan tumbuhan, setelah ditambah dengan bahan-bahan pengurai bakteri mampu menghasilkan sekitar 100 kilogram kompos. Harga jual kompos Rp 5.000 per kilogram. Kekurangan pasokan sampah dari warga ditutup pengelola dengan sampah sayuran yang diambil dari Pasar Jatinegara.

Setelah didampingi selama 15 tahun lebih, warga bantaran Ciliwung akhirnya mau mengolah sampah. Dengan memberinya nilai ekonomis, sampah akan dilihat warga kelas bawah yang berpenghasilan minim sebagai peluang menambah rezeki.

Peluang emas

Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia Sri Bebassari mengingatkan, kontributor sampah bukan hanya masyarakat, tetapi juga industri yang jumlahnya sangat besar. Setiap orang menghasilkan sampah sebanyak 0,5 kilogram per hari. Sumber sampah yang dihasilkan, salah satunya, adalah dari penggunaan produk-produk industri, terutama aneka kemasan makanan dan minuman dari plastik.

”Selama ini yang disalahkan hanya konsumen. Demi keadilan, produsen yang menghasilkan barang-barang yang digunakan konsumen juga harus dituntut tanggung jawabnya,” kata Sri Bebassari. Produsen seharusnya menggunakan kemasan produk yang dapat dengan mudah diurai alam, seperti plastik yang cepat terurai atau mengganti plastik dengan kertas.

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Setyo Sarwanto Moersidik menambahkan, pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah umumnya masih bertumpu pada proyek pembangunan fisik, berteknologi tinggi, dan membutuhkan investasi besar.

Padahal, sebagian masyarakat masih memiliki modal sosial yang tinggi dan dapat diberdayakan, khususnya untuk pengelolaan sampah. ”Pemerintah masih belum memandang rekayasa sosial dalam penanganan sampah sebagai hal yang penting,” ujar Setyo.

Kondisi itu justru sering kali menimbulkan kekonyolan dalam pengelolaan sampah. Warga disuruh membuang sampah ke tempat sampah, tetapi tak ada tempat sampahnya. Warga diminta memisahkan sampah kering dan basah, tetapi setelah diangkut ke tempat pembuangan sementara, sampah berbeda jenis itu kembali disatukan.

Setyo mengakui, memang tidak semua masyarakat dapat diberdayakan untuk mengelola sampahnya sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat mana saja yang dapat digarap. Penentuan kelompok masyarakat ini juga harus dilakukan dengan memerhatikan etnohidrolik atau budaya airnya. Hal ini akan memberikan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampahnya di kali, bukan dengan seruan semata.

Salah satu kelompok masyarakat yang dapat diberdayakan adalah kelompok kaum ibu yang tergabung dalam kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) seperti pada masa Orde Baru. Memang cara ini masih melibatkan peran pemerintah yang cukup kuat. Namun, cara itu mampu mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit. ”Masih 30-40 persen warga Jakarta dapat didorong untuk membuat sistem pengelolaan sampah mandiri, termasuk mereka yang berasal dari pendidikan tinggi maupun ekonomi menengah,” katanya.

Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri memang membutuhkan waktu panjang. Tetapi, hal itu harus dilakukan dari sekarang melalui penganggaran yang memadai untuk melakukan rekayasa sosial tersebut. Sayangnya, rekayasa sosial ini masih dipahami pemerintah hanya dengan cara sosialisasi dan imbauan. (Iwan Santosa/ Muhammad Zaid Wahyudi/ Ester Lince Napitupulu)

Kamis, 29 Januari 2009

Melayani itu Pekerjaan Pemimpin atau Pekerjaan Pembantu?

Ada sebuah obrolan yang tanpa sengaja saya 'kuping' tentang roling posisi tugas perawat di sebuah rumah sakit. Mereka senang adanya roling karena ingin segera pindah dari perawat kelas VIP ke kelas biasa. Karena merasa sebagai perawat di kelas VIP seolah-olah jadi pembantu. Diminta ini itu, tidak bisa santai, tidak biasa marah atau cemberut seperti ketika berada di ruang kelas bawah.

Sebenarnya dengan adanya kelas VIP rumah sakit bisa meningkatkan kesejahteraan pegawai termasuk dokter dan perawat. Rumah sakit juga bisa memberi subsidi silang untuk kelas ekonomi atau pasien JPS dengan lebih baik. Mungkin pemahaman ini belum mereka tangkap apalagi konsep 'melayani' dihubungkan dengan membantu orang lain dan itu bagian dari kesempurnaan agama seseorang.

Saya ingat bagaimana kisah para sahabat, khususnya para kholifah Rasulullah SAW seperti Abu bakar, Umar, Usman atau Ali. Mereka bekerja siang malam melayani umat dan hanya mengambil sedikit gaji mereka dari baitul mal. Makan roti keras, baju cuma selembar apalagi istana. Bukannya tidak mampu negara menggaji mereka, tetapi kehendak mereka mengambil hanya sedikit, bahkan yang ada di rumah sebagian besar mereka infaqkan.

Barangkali perawat itu cerminan diri saya juga. Maunya kerja enak, tanpa tekanan kalau perlu malah menekan, mengambil yang banyak. Karena saya pimpinan, karena saya yang pintar, karena saya yang berkuasa. Wajar saya dapat yang banyak.  

 

Sabtu, 24 Januari 2009

Organisasi Pembelajar

By: Eileen Rachman & Sylvina SavitriDate: 28-Jul-2008 Viewed: 876

Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh.  

Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi ’learning organization’. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai ’learning organization’ karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.

Menurut para ahli “In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata, dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasi saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah negara yang tidak serius mendesain proses pembelajaran bangsa?

Organisasi Pembelajar:Hasil ‘Shared Experiences”

Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar ‘asbun’ (=asbun), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait ‘lesson learned’ dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain. 

Suasana dalam organisasi pembelajar tidak mucul dalam suasana ‘sinau’ (=belajar intensif, bahasa jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana sih caranya?”, “Bagaimana kalau…”, berkumandang di rapat-rapat, yang membuat setiap orang di perusahaan seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada hentinya menyambut tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat. Kegagalan atau hampir gagal dan kesuksesan di lapanganlah yang menjadi fokus untuk memperoleh “lesson learned”, bukan semata teori. 

Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “customer friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang ‘menembus’ divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi perusahaan alias penuh birokrasi dan masih sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma. Tampaknya, organisasi pembelajar tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus. 

Senantiasa Tumbuhkan Aura ‘Waspada’

Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya, di perusahaan , kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir:”Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang ‘muda-muda’ saja yang mempelajarinya”. Sikap ‘layu’ inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi. 

Seorang yang kuat belajar pasti meyakini bahwa dia bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun. Hanya saja karena proses belajar tidak dilakukan dalam waktu tertentu dan disengaja, maka kita sebagai individulah yang perlu aktif menangkap signal atau gejala yang secara signifikan bisa menambah wawasan kita, sendiri. Disinilah sikap waspada kita sangat diperlukan.

Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit

Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas “customer service”-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah ‘brutal facts’ dan ‘bad news’ yang bertubi-tubi dan membuat semua orang ‘shock’, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk ‘belajar’ dan mengembangkan diri. 

Sebuah studi menemukan bahwa 70% dari pembelajaran di tempat kerja bersifat informal, misalnya dari observasi dan refleksi dari pengalaman individu, tim, perusahaan dan pihak lain. Kita lihat bahwa dalam pembelajaran di tempat kerja, dosis “action” dalam proses belajar memakan hampir seluruh materi pembelajaran. Pencanangan target dan tujuan, rotasi jabatan dan kerjasama lintas fungsi justru merupakan kegiatan ‘belajar’ yang terpenting. Saat semangat untuk belajar, memperbaiki diri dan berubah sudah bangkit dan berapi-api, barulah kemudian pelatihan dan pembelajaran formal bisa lebih efektif sebagai tindak lanjut.  


(Ditayangkan di KOMPAS, 26 Juli 2008)

Jumat, 23 Januari 2009

Ngeblog Lagi

Sesuai dengan judulnya, saya mau ngeblog lagi. Kok ngeblog lagi? Dulu pada saat ramai-ramai bikin blog, saya sempat buat blog. Posting pertama sekaligus yang terakhir. Bukan karena alasan sibuk, tetapi malas nulis itu alasan yang tepat. Memang nulis itu bukan pekerjaan gampang. Buktinya hanya sedikit orang yang sehari-hari di depan internet yang mau nulis. Dari sedikit itu hanya sedikit yang menjadi penulis betulan atau profesional.

Saya akan memulai dengan yang sederhana, menampilkan apa-apa yang pernah saya baca di koran, di majalah, di web, atau dari blog teman. Sebenarnya ingin menjadi penulis profesional. Setidaknya, semoga blog saya ini nasibnya tidak seperti blog lama saya. Amiin.