Jumat, 03 April 2009

Pendidikan yang Curang

DIDAKTIKA
Kompas : Senin, 26 Mei 2008 03:00 WIB
Nurhaji Ali Khosim


Siang itu, di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sedang berlangsung ujian tengah semester untuk kelas VI. Seorang ibu guru dengan tekun mengawasi anak didiknya. Murid-murid terlihat serius mengerjakan soal ujian.

Sekilas tidak ada yang aneh di dalam kelas itu. Tetapi, ibu guru tadi tidak bisa ditipu oleh tingkah murid-muridnya. Bagaimana tidak, sedikit lengah, anak-anak SD itu dengan terang-terangan di hadapan gurunya berani mencontek hasil pekerjaan temannya atau menjiplak buku yang ada di dalam laci bangku tanpa merasa bersalah.

Ibu guru itu bingung, tidak tahu harus berbuat apa agar anak-anak itu jera dan tidak berbuat curang lagi. Tidak ada sedikit rasa takut pada anak-anak itu ketika berbuat curang.

Dia tidak mungkin memukul atau menggunakan kekerasan fisik untuk membuat jera karena tindakan tersebut jelas akan ”melanggar HAM”. Tidak mungkin pula dia mengeluarkan anak-anak tersebut dari ruang kelas karena hampir semua murid mencontek atau menjiplak.

Memberi nilai jelek juga bukan solusi cerdas karena dia akan berhadapan langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan prestasi sekolah. Memberi peringatan dan ancaman malah menjadi bumerang bagi dia karena bisa dipastikan muridnya akan balik mengancam.

Ibu guru itu hanya berharap murid-muridnya segera lulus. Tidak lagi menjadi beban ataupun ancaman bagi dia maupun sekolah. Dia tidak lagi peduli, apakah siswa itu layak lulus atau tidak. Yang penting anak-anak didiknya akan lulus dengan nilai memuaskan, meskipun nilai tersebut didapat dengan cara curang.
Budaya Menjiplak

Cerita di atas bukanlah ilustrasi atau rekayasa. Itu adalah kenyataan pahit yang terjadi pada dunia pendidikan kita. Berlaku curang dalam mengerjakan soal telah menjadi budaya pelaku pendidikan di Indonesia, dari anak-anak sekolah dasar sampai mereka yang kuliah pascasarjana.

Mencontek dan menjiplak bukan dominasi murid sekolah. Banyak ditemukan, skripsi dan tesis mahasiswa pascasarjana yang hanya copy-paste (proses mencetak ulang-menempel di komputer) dari karya orang lain. Bahkan juga guru-guru yang mengikuti seminar dan diklat bohong-bohongan hanya demi selembar sertifikat.

Pada tingkat sekolah dasar, berbagai trik dan cara dilakukan siswa untuk mencontek dengan cara sangat sempurna. Dari menyalin pelajaran di kertas-kertas kecil kemudian diselipkan di tempat tertentu hingga menulis materi pelajaran di meja. Mereka yang melek teknologi informasi dapat memanfaatkan telepon genggam sebagai sarana mencontek.

Mereka yang orangtuanya kelebihan uang dapat membeli bocoran soal dan kunci jawabannya sekaligus. Yang paling licik, mereka selalu mengawasi guru, yang seharusnya mengawasi murid-murid itu. Bekerja dengan usaha sendiri dan perilaku jujur sudah menjadi barang langka.

Mengapa siswa sekolah yang seharusnya telah mendapatkan pelajaran budi pekerti itu berlaku tidak jujur?

Sering Dibohongi

Anak-anak berlaku curang karena sering dibohongi. Orangtua yang sering berkata bohong, membeli buku lembar kerja siswa yang isinya bohong belaka, terlalu sering melihat iklan televisi yang banyak bohongnya, hingga tayangan sinetron TV yang ceritanya juga melulu bohong.

Imbauan kepada anak didik agar selalu rajin belajar dan selalu berkata jujur akhirnya hanya menjadi omong kosong. Imbauan itu sama sekali tidak mempunyai makna jika anak didik tersebut tidak mendapatkan contoh nyata dari guru dan dari orangtua sendiri.

Anak-anak akan merespons dan akhirnya meniru perilaku orang dewasa. Perilaku anak-anak dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap perilaku orang lain.

Tuntutan dari sekolah maupun dari orangtua untuk selalu mendapatkan nilai tinggi pada akhirnya memberi ruang gerak bagi siswa untuk melakukan perbuatan curang. Malas berpikir dan mencari jalan pintas adalah solusi.
Peran guru dan orangtua

Saatnya guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, orangtua, ataupun dinas pendidikan menjadi contoh perbuatan yang berdasar kejujuran. Guru tidak perlu membantu mengerjakan soal ujian hanya demi nilai tinggi.

Kepala sekolah juga tidak perlu menyogok karena hanya ingin menjadi pengawas sekolah. Begitu pula dengan dinas pendidikan, jangan memaksa kepala sekolah agar siswa sekolah binaannya lulus 100 persen.

Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai harus dilakukan. Perilaku jujur bagi siswa merupakan modal menuju pendidikan ke arah lebih baik. Anak-anak hanya butuh contoh yang baik dari guru dan orangtua. Tidak lebih dari itu.
NURHAJI ALI KHOSIM Guru SD, Mengajar di Klaten; khosimjo@gmail.com

Pak Guru Siapkah Bersaing dengan Internet?

Kompas.Com : Selasa, 10 Maret 2009
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono

PESATNYA arus globalisasi serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)saat ini menuntut perubahan sikap dan pola pikir guru. Sebab, peran guru saat ini makin tersaingi dengan keberadaan internet dan televisi. Sekolah melalui gurunya harus bisa menjadi lembaga yang tidak sekadar transfer ilmu, tetapi juga nilai-nilai luhur.
Demikian benang merah imbauan yang disampaikan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf saat menjadi pembicara keynote dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Majalah Guruku, Selasa (10/3) di Sabuga. Kegiatan yang diadakan cuma-cuma ini diikuti sekitar 1.500 guru se-Bandung Raya.
Menurutnya, internet dan televisi sebetulnya merupakan alternatif sumber belajar. Namun, pada kenyataannya, tidak jarang ini menggeser peran guru sebagai penyampai ilmu. "Saya terkejut anak saya yang baru berumur 8 tahun sudah pandai buka-buka website. Ditanya dia ikut les atau tidak, ternyata dia jawab tidak," tuturnya.
Dari pengalaman ini muncul pesan, internet dalam wadah TIK merupakan sumber yang luas untuk belajar. Jika guru tidak memutakhirkan dirinya terhadap perkembangan TIK, ucapnya, maka daya saing bangsa akan kian tertinggal. "Ke depan kan bakal banyak guru-guru asing mengajar di Indonesia, khususnya Jabar. Yang saya khawatirkan, justru mereka berasal dari Negara Jiran. Ini adalah tantangan."
Fenomena situs jaringan pencari kawan macam Friendster dan Facebook, ucapnya makin menegaskan fenomena masyarakat digital. Dalam konsep ini, masyarakat bagaikan sebuah keluarga besar yang melintasi batas wilayah dan saling aktif bertukar informasi. Sekolah, ucapnya, merupakan benteng untuk menyaring budaya global yang tidak sesuai budaya lokal. Di sinilah sekolah berperan sebagai lembaga transfer nilai.
Dalam kuliah umum, Kepala Subbidang Penghargaan dan Perlindungan Guru Direktorat Jenderal Depdiknas RI Dian Mahsnah mengatakan, guru sejatinya tetap kunci dalam proses pembelajaran. Namun, sebagai agen perubahan, guru dituntut harus mampu melakukan validasi-memperbaharui kemampuannya, sesuai dengan tuntutan zaman agar tidak tertinggal.

Krisis guru idola

Menyinggung soal masih banyaknya guru yang gagap teknologi, menurutnya, hal ini lebih disebabkan karena faktor individu, enggan memperbaiki diri. Dengan adanya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), guru sebetulnya dituntut lebih memberdayakan TIK untuk proses pembelajaran bermutu. Demikian diucapkannya.
Hal yang tidak kalah penting adalah membiasakan mengajar dengan menyenangkan. Dengan demikian, pembelajaran menjadi semakin menarik bagi siswa. Berdasarkan survei yang disampaikannya, saat ini tengah terjadi krisis guru idola di Indonesia. Tingkat kepanutan guru di mata siswa hanya 58 persen. Kalah jauh dibandingkan tingkat panutan orangtua (90 persen), bahkan sesama teman sebaya (88 persen).
Menurut Pemimpin Redaksi Majalah Guruku Ismed Hasan Putro, guru merupakan penentu peradaban suatu bangsa, ujung tombak pendidikan. Selayaknya, anggaran 20 persen untuk pendidikan, 40 persennya diarahkan untuk perbaikan kesejahteraan guru. Demikian dikatakan Ketua Masyarakat Profesional Madani ini.

PTN dan Komersialisasi Pendidikan

Kompas : Selasa, 4 Maret 2008 Teuku Kemal Fasya

Ide pendirian Badan Hukum Pendidikan atau BHP kembali mencuat. Namun, reaksi negatif ditunjukkan sivitas akademika atas upaya pengubahan perguruan tinggi negeri menjadi BHP.

Aksi besar-besaran mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, menolak konsep BHP beberapa waktu lalu menjadi sinyal, ini bukan solusi tepat memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan. BHP adalah aroma baru bagi komersialisasi pendidikan tinggi.

Mitos otonomi

Rencana pembentukan BHP merupakan penajaman konsep yang lebih dahulu bergulir, yaitu perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang dianggap ”berhasil” memandirikan pengelolaan kampus. Anehnya, rancangan undang-undang PT BHMN yang bergulir sejak pemerintahan Megawati tidak kunjung disahkan.

Yang terbaca dalam fungsi praksis RUU, lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional dengan memberi keleluasaan BHP mencari jejaring modal lain yang bersedia membiayai, baik dalam maupun luar negeri (Pasal 2 alternatif). Dua sisi keping mata uang dari fungsi PT BHMN dan postur BHP dapat terbaca dalam RUU BHP. PT BHMN otomatis akan menjadi BHP jika rancangan itu disahkan DPR {Pasal 55 (1) RUU BHP}.

Sisi ”jualan” pendidikan nasional seakan telah dinaturalisasi negara. Sistem pendidikan nasional yang dikembangkan sejak masa Daoed Joesoef, dilanjutkan pengembangan aspek link and match yang menegosiasikan tujuan pendidikan dan pasar kerja, memungkinkan pendidikan tidak mengarah pada tujuan kritis (critical sciences), tetapi pragmatis.

Akan tetapi, konsep BHP kian mengarah pada titik ekstrem. Bukan hanya dunia kerja yang komersial, melainkan institusi pendidikan pun menjadi pasar. Padahal, institusi pendidikan harus jauh dari semangat pasar. Ia harus berdiri sebagai ”blok historis” yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putri terbaik yang mampu membaca tanda- tanda zaman.

Pembentukan BHP (seperti fenomena di UGM dan UI ) telah membuka kesempatan bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Melalui jalur non-SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru), kian banyak mahasiswa borjuis berkemampuan rendah bisa masuk kampus elite (BHMN) dan menyisihkan mahasiswa cerdas yang secara ekonomis kurang mampu.

Konsep otonomi telah diterjemahkan secara superfisial. Otonomi pendidikan seharusnya dirakit untuk merumuskan kurikulum dan kekhasan intelektual (berbasis lokal dan kompetensi), tetapi malah menjadi alat politis dan mesin ekonomi. Rengkuhan ekonomis tentu mengimpit sisi penting pendidikan (kultural, spiritual, mental) karena kalkulasinya berdasar prinsip manajemen korporatis, bukan ilmiah.

Maka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan upaya mem- BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, minimal 50 persen hingga tahun 2009 menjadi kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi {Pasal 4 (1) UU No 20/2003}.

Pengalihan tanggung jawab

Upaya pengesahan RUU BHP merupakan pelanggaran fundamental pedagogi, yaitu pendidikan sebagai kebaikan bagi semua orang (bonum commune). Pendidikan, seperti kata Paulo Freire, harus menjadi praksis yang membebaskan, termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan.

Ada tuduhan, pembentukan BHP dikhawatirkan memberi kesempatan resmi menyisipkan aroma politis lain yang bisa digunakan pimpinan kampus guna melanggengkan kepentingan.
Maraknya pemeriksaan dan pengusutan rektor PTN yang ditengarai menyelewengkan anggaran pendidikan menjadikan konsep BHP sebagai ”pelarian paling sempurna” dari endusan BPK, BPKP, inspektorat, dan kejaksaan. Perguruan tinggi BHP tak bisa digugat pengelolaan anggarannya karena bukan institusi negara, melainkan institusi publik. Pertanggungjawaban beralih dari Mendiknas ke Majelis Wali Amanat (MWA).
Dengan kultur paternalistik yang masih kental, rektor dengan mudah mengintervensi MWA. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rektor. Sivitas akademika hanya pasir dan kayu tumbuk organisasi pendidikan dan pengajaran tanpa hak mengontrol kebijakan kampus.

Sebagai pengajar di sebuah PTN muda dari daerah yang masih miskin akibat konflik dan bencana, penulis tak siap melihat nasib lembaga pendidikan menjadi firma tanpa semangat kekeluargaan sivitas akademika.

Teuku Kemal Fasya Ketua Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe

Senin, 23 Maret 2009

"Copy Paste"

Parodi
Kompas : Minggu, 22 Maret 2009 | 03:00 WIB
Samuel Mulia


Saya membaca bukunya Warren Buffett. Tahukah Anda siapa dia? Capcai ah… cari aja ndiri. He-he-he … saya bercanda, jangan naik pitam dulu. Cepat marah itu tak sehat. Katanya. Saya membuktikan itu benar adanya. Yang sehat saya, yang tidak sehat orang lain, maksudnya.

Warren Buffett adalah nama seorang pria, sampun sepuh, pemilik perusahaan investasi terkemuka di Amrik, bukan di Indonesia.

Mengapa saya membeli buku salah satu orang terkaya yang sempat menggeser posisi Bill Gates sebagai juara satu itu? Hanya satu alasan saja. Saya ingin kaya seperti Pak Buffett. Sama seperti keinginan manusia umumnya. Maksud saya, manusia yang umumnya memang senang uang. Mau itu dasarnya rakus, setengah rakus, atau baru mau jadi rakus.

Bercita-cita menjadi Buffet

Padahal, di sebuah majalah yang pernah saya baca, Pak Buffett tak pernah bercita-cita jadi kaya meski ia pandai mencari uang sejak kecil saat teman-temannya belum punya niat mendapatkan uang seperti dia. Saya justru selalu bercita-cita jadi kaya sejak kecil, tetapi tak punya naluri seperti Pak Buffett.

Makanya sampai sekarang cita-cita saya itu masih menyala-nyala karena waktu kecil bisanya cuma mainan, setelah remaja dan setengah dewasa masih minta uang ke Ayah. Sekolah di dalam dan luar negeri juga atas biaya ortu karena Tuhan menganugerahi saya otak yang tidak memungkinkan mendapat beasiswa. Maka. kalau saya berdoa untuk Ayah, doanya semoga ia diberi panjang umur. Alasannya bukan karena saya anak berhati mulia, tetapi agar Ayah tetap hidup dan punya uang. Selama ia masih hidup dan punya uang, selama itu saya bisa mendapatkan ”beasiswa”.

Kalau melihat keadaan saya dan membandingkan dengan Pak Buffett, weleh, weleh, saya kok cuma punya apartemen di daerah bintang tujuh. Pusing maksudnya. Karena bus, kopaja, dan teman-temannya sering kali membuat taksi atau kalau kebetulan diantar mobil teman, kesulitan menyeberang jalan masuk.

Sampai hari ini saya tak punya pulau pribadi atau pesawat pribadi. Sementara teman saya dan temannya teman saya itu malah sudah bolak-balik terbang dengan ”kendaraan” pribadinya itu dan mengundang saya sesekali ke pulau. Sesekali lho karena mereka tidak menganggap saya teman dekat.

Seperti pesta jetset yang saya hadiri dua minggu lalu, yang telah membuat beberapa kalangan jetset yang tak diundang mengajukan aksi protes. Tak sampai demo, tentunya, tetapi sudah cukup membuat pihak pengundang kewalahan menjawab pertanyaan, mengapa saya tak diundang. Saya sampai geleng kepala, sebegitu pentingnyakah atau perlunya sampai mereka harus protes?

Saya teringat dahulu, kala saya masih seperti itu. Harus diakui ada rasa tersisihkan karena tak diundang dan merasa tidak dianggap. Tak bisa sama seperti yang diundang. Jadi, dulu saya ini tukang minta-minta. Minta diundang, maksudnya. Selalu bekerja keras, agar bisa hadir di mana-mana.

Menjadi ”Buffet”

Nah, saat saya berlibur di pulau teman itu saya menengadahkan kepala ke atas dan berkata. ”Tuhan di manakah letak keadilan yang beradab itu?” Kok orang sampai bisa beli pulau, sementara tanah 200 meter persegi yang ditawarkan teman saya saja tak mampu saya beli. Teman saya mengajarkan untuk copy paste gaya para koruptor.

Sempat saya pikirkan ide itu. Tetapi, di buku yang saya baca, Pak Buffett tak korupsi. Namanya juga lagi getol mau seperti Pak Buffett, yaaa … saya pikir nurut apa kata dia saja.

Kalau Pak Buffett bermain saham, saya juga bermain saham. Pasar lagi ambruk, saya juga ikut ambruk. Tetapi, pesan seorang penulis mengenai Pak Buffett, yang saya baca di sebuah majalah keuangan buatan Indonesia, begini, ”Ingat strategi Buffett, ia membeli saham ketika pasar sedang jatuh. Ia berani masuk ketika orang lain takut. Dan, hasilnya, ia rasakan dalam jangka panjang.” Makanya, saya masuk ke pasar saham di tengah pasar yang gitu deh itu.

Kemudian saya tertawa. Maksud saya, menertawakan diri sendiri. Saya tak membaca dengan hati-hati kalimat si penulis tadi. Ia berani masuk ketika orang takut. Der… saya terdiam, tertunduk tanda tak mampu. Saya hanya ingin seperti dia, saya lupa instrumen lain yang dia miliki tak saya miliki.

Saya pengecut, tak berani seperti Buffett. Saya tak punya nyali seperti Buffett. Jadi, mau kaya ternyata bukan cuma baca bukunya, tetapi nyali dan luck juga menentukan. Itu kemudian yang membuat saya mundur teratur untuk tidak melakukan copy paste.

Buffett dan saya dua sosok berbeda. Yang tak memiliki kekuatan mental sama. Setelah saya kehilangan lebih dari 50 persen investasi, saya seperti dihujam pisau. Dengan mental macam tempe, saya kapok. Itu yang membedakan saya dari orang terkaya itu. Dia tidak takut, saya takut.

Dan, justru yang lebih penting dari semua itu adalah sensitivitas. Tingkat kepekaan yang berbeda. Saya tak memiliki kepekaan yang sama. Bahkan, saya tak peka kapan harus menarik dan kapan harus mengulur. Nalar saya tak secanggih milik pria sepuh itu saat bermain ”layangan”. Saya canggih main tarik-ulur di tempat lain.

Maka, setelah saya membaca buku Pak Buffett, saya salut dengan dia. Saya memutuskan berhenti menjadi kaya seperti dirinya. Karena kemampuan saya menjadi kaya bukan hanya bermodalkan membaca bukunya dan mendengar teori bermain layangan. Saya perlu banyak hal dan ada instrumen lain yang diperlukan untuk itu. Instrumen itu tak ada pada saya.

Nurani saya nyeletuk, ”Mas, lo enggak bakal jadi seperti Buffett. Jadi, seperti buffet, ya.”

Sabtu, 21 Maret 2009

Belajar dari Orang Kaya

Kompas : Minggu, 22 Maret 2009 | 02:26 WIB 

Elvyn G MasassyaPraktisi Keuangan

Arti kaya bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang mendefinisikan sebagai banyaknya aset, tidak peduli apakah utang sejibun. Ada yang lebih realistis, mengartikan kaya sebagai banyaknya nilai aset bersih, yakni harta dikurangi utang. Bagi yang lain, kaya adalah kondisi di mana aset dapat memberi manfaat kepada pemilik, bukan dilihat dari besar kecilnya aset.

Lalu, kenapa ada yang menjadi sangat kaya, ada pula yang merasa asetnya tidak pernah bertambah? Bagaimana menumbuhkembangkan kekayaan? Benarkah karena nasib baik atau karena kerja keras? Atau apa?

Bagi yang skeptis mungkin akan mengatakan banyak orang menjadi kaya karena korupsi atau karena diberi kesempatan berbisnis melalui jalar nepotisme.

Padahal, cukup banyak orang menjadi kaya karena kepiawaian melakukan investasi dan atau berbisnis dengan cara baik dan benar.

Namun, lepas dari itu, tidak ada salahnya kita cermati bagaimana orang-orang tersebut menjadi kaya. Apakah ada hal berbeda yang mereka lakukan dibandingkan dengan orang kebanyakan? Paling tidak, layak dicermati sikap, tindakan, dan atau perilaku mereka dari sisi positif sebagai referensi. Lantas apa saja perilaku tersebut?

Keinginan kuat

Pertama, cara berpikir. Orang kaya pada dasarnya memiliki pemikiran mencari uang dan harta adalah suatu kemestian. Tujuannya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Secara prinsip mereka memiliki keinginan kuat mendapatkan uang dan kekayaan. Jadi, mereka tidak pernah beranggapan uang adalah hal jelek atau kurang baik. Mencari uang sebanyak-banyaknya merupakan hal lazim. Niat dan keinginan mendapatkan uang dan melipatgandakannya sangatlah kuat.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda memiliki niat kuat? Katakanlah Anda bekerja sebagai karyawan dan mendapatkan gaji, apakah Anda memiliki niat agar gaji Anda bisa meningkat? Atau Anda nrimo saja menunggu penyesuaian gaji sehubungan dengan laju inflasi?

Kedua, memahami makna kekayaan dan memiliki target. Orang kaya umumnya mengetahui dengan pasti jumlah kekayaan dan peruntukannya, termasuk ketika menggunakan kekayaan tersebut.

Mereka memiliki banyak uang dan kemudian sebagian disumbangkan, misalnya ke panti asuhan. Tujuan menyumbang macam-macam, termasuk, misalnya, agar mereka merasa lebih bahagia. Dengan kata lain, kekayaan yang dicari memiliki kejelasan makna.

Dus, kalau Anda ingin menjadi lebih kaya ada baiknya juga memahami dengan pasti apa tujuan kekayaan yang hendak Anda raih. Ini seperti ketika Anda mengendarai kendaraan. Mesti jelas tujuannya ke mana, Anda juga memilih jalan yang Anda rasa paling sesuai untuk mencapainya, serta memahami konsekuensinya. Misalnya, terjebak macet atau membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan jika jalan yang Anda pilih berputar-putar.

Simpan rahasia

Ketiga, memahami kapan kekayaan akan dicapai. Kita kerap mendengar kisah para konglomerat yang awalnya hidup sangat sederhana. Mereka bahkan rela tidak membeli pakaian bagus dan tidak makan enak dalam kurun waktu cukup panjang. Hasil keuntungan kegiatan bisnis dia kumpulkan untuk kemudian menjadi tambahan modal usaha.

Dengan kata lain, orang-orang yang kaya berdasarkan hasil bisnis tidak mencapainya dalam jangka pendek, tetapi mereka yakin dengan kerja keras dan disiplin kekayaan itu akan dicapai. Bisa dalam kurun waktu 10 tahun atau bahkan lebih.

Dengan latar belakang ini bisa dipahami, menjadi kaya sebenarnya bukan upaya yang dicapai dalam waktu singkat. Jika Anda berinvestasi, hasil investasi yang besar hanya bisa dicapai dalam waktu panjang, tidak serakah, sabar, dan konsisten dalam melakukan investasi.

Analogi untuk menggambarkan konsep ini sama seperti ketika Anda mengemudikan kendaraan. Harus jelas tujuannya, jam berapa Anda harapkan tiba di tujuan, dan jalan mana yang dipilih. Ada sistematika di sini.

Keempat, menyimpan rahasia untuk diri sendiri. Coba tanyakan kepada orang-orang kaya, apa resep hingga mereka menjadi kaya. Pasti sebagian besar akan menjawab, kerja keras. Itu memang benar.

Namun, kerja keras seperti apa yang dimaksud? Belum tentu sama pengertian kerja keras versi orang kaya dengan kalangan kebanyakan. Artinya apa? Artinya, orang-orang kaya memiliki strategi rahasia yang belum tentu dibagikan kepada orang lain.

Makna tulisan ini, jika Anda sudah memiliki keyakinan mengenai langkah yang akan Anda tempuh, cukup simpan untuk diri sendiri. Tidak perlu terlalu banyak bertanya atau bercerita kepada orang lain mengenai strategi di benak Anda. Sebab, semakin banyak pendapat yang Anda terima, akan semakin goyahlah pendirian Anda. Kecuali Anda tergolong orang yang keukeuh dalam menjalani pendirian.

Selanjutnya, juga tidak perlu menyombongkan diri jika langkah yang Anda lakukan, misalnya berinvestasi di pasar modal, menuai keuntungan besar. Biarkan keuntungan menghampiri diri Anda, tetapi tetap bersikap rendah hati. Tidak perlu orang tahu Anda menjadi lebih kaya.

Selain hal-hal di atas, tentu saja masih banyak sikap, perilaku dan tindakan positif yang bisa dipelajari dari orang-orang kaya sebagai referensi dan pembelajaran bagaimana cara menjadi kaya. Ini disebut sebagai perilaku keuangan orang kaya. Hal-hal tersebut akan diulas dalam tulisan-tulisan mendatang.

Jumat, 20 Maret 2009

Mengubah Sampah Menjadi Sahabat

Kompas :Minggu, 8 Maret 2009 | 09:18 WIB

Oleh: Hari Susana/Ori

TEMAN-TEMAN tahu bagaimana caranya bersahabat dengan lingkungan? Ya, pasti dengan menjaga kebersihan lingkungan, menyayangi tanaman dan binatang. Kita juga tidak boleh membuang sampah sembarangan dan harus menghemat energi. Mencintai sampah juga boleh? Kita coba yuk.

Orang Indonesia kreatif

Sampah tidak selamanya menjadi musuh, tetapi bisa menjadi sahabat. Dengan kreativitas, kita bisa mengolah sampah menjadi barang yang bernilai seni.

Di Bali misalnya, ada Pak Made Sutamaya yang memanfaatkan sampah kayu pantai menjadi patung, meja, dan perabot yang antik dan unik. Di Lombok, ada Pak Mujiyanto yang mengolah pelepah pisang menjadi kertas dan barang-barang kerajinan yang cantik.

Di Jakarta, Pak Aswin Aditya mengubah sampah plastik menjadi aneka tas dan payung yang lucu. Ada juga perajin yang menggunakan bekas kemasan air mineral untuk dibuat menjadi lampu gantung yang sangat indah.

Ternyata melalui tangan-tangan orang kreatif, sampah yang kita buang bisa menjadi barang mahal dan berseni. Hebat lho orang Indonesia itu!

Bersahabat dengan sampah

Kita juga bisa menjadi orang hebat seperti mereka. Syaratnya, kita tidak takut berkreasi dengan sampah! Sampah apa pun, entah itu kertas, plastik, daun kering, biji-bijian, atau kain bekas bisa diolah kembali menjadi barang baru yang unik.

Langkah awal, kita mengumpulkan sampah yang ada di sekitar kita. Setelah itu baru kita bisa mereka-reka, apakah ada sampah yang bisa kita jadikan mainan, hiasan, atau wadah-wadah yang cantik, unik, dan bernilai seni.

Coba kita perhatikan sebuah kardus susu, kotak sabun, dan gulungan tisu. Barang-barang tadi bisa menjadi wadah serbaguna, seperti rumah-rumahan atau istana. Gulungan tisu juga bisa kita jadikan vas atau tempat pensil cantik.

Jadi, mulai sekarang jika di rumah ada kertas bekas, jangan dibuang. Kertas tersebut bisa dicampur air lalu dihancurkan dengan blender. Kemudian dicampur dengan lem dan dicetak beraneka bentuk. Setelah itu, dikeringkan dan diwarnai. Kita bisa membuat hiasan kulkas, gantungan kunci, dan hiasan dinding yang lucu dari bubur kertas ini.

Ajaklah saudara dan teman-teman untuk bergabung, pasti seru! Dengan mengolah sampah menjadi barang baru, berarti kita sudah mengurangi sampah di sekitar kita. Lingkungan jadi bersih dan nyaman.

Selain bisa diolah menjadi kerajinan, sampah juga bisa menjadi pupuk alami. Kita bisa meminta ibu memisahkan sampah dapur yang berupa sisa sayuran atau kulit buah dengan sampah plastik dan kertas. Sampah dapur tersebut dapat diolah menjadi kompos dan digunakan sebagai pupuk tanaman. Jadi, kita tak perlu repot-repot lagi membeli pupuk kimia.

***

Dari Botol Plastik dan Gulungan Tisu

Bahan:

Botol plastik atau gulungan tisu.

• Lem kayu

• Manik-manik atau pasir putih

• Gunting

• Hiasan tambahan seperti daun kering, biji-bijian, atau kertas berwarna-warni.

Cara membuat:

1. Potong botol plastik menggunakan gunting sesuai bentuk yang diinginkan. Untuk gulungan tisu, tutup salah satu sisinya yang berlubang dengan karton.

2. Olesi seluruh permukaannya dengan lem. Tempelkan pasir atau manik-manik di permukaannya.

3. Tambahkan hiasan seperti guntingan kertas, daun, biji-bijian, atau bunga kering. Wadah ini bisa dipakai sebagai tempat pensil atau vas.

Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Kompas : Jumat, 20 Maret 2009

A FERRY T INDRATNO
Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa.

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

Nilai-nilai yang disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus) dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.

Konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur. Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk menghasilkan tindakan.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.




Sabtu, 14 Februari 2009

Penjara Sebagai Pertolongan Terendah

Ditulis oleh Emha Ainun Nadjib‚ Sabtu, 20 Desember 2008 11:03‚

Lia Aminudin ditangkap lagi, menjadi tersangka lagi dan akan masuk bui lagi. Mbak Lia bukan orang jahat, dan juga insyaallah tidak berniat jahat, di balik segala kabar-kabar dahsyat mengenai Jibrilnya, Ruhul Kudusnya, Kerajaan Sorganya, Imam Mahdinya dan apapun saja tambahan berikutnya. Dengan segala kerendahan hati ‘terpaksa’ saya ikut omong: Mbak Lia itu orang yang khilaf namun tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami kekhilafannya.

Namun 'software' untuk memahami kekhilafannya itu juga tidak terdapat di luar dirinya: pada hati tetangga-tetangganya, pada empati handai taulannya, pada system nilai masyarakatnya, pada hukum Negaranya, pada wacana ilmu ummatnya serta siapapun di muka bumi ini. Kita semua terkurung di dalam kelemahan kolektif yang membuat kita hampir selalu menempatkan diri pada posisi defensif dan sangat mudah merasa terancam, bahkan 'sekedar' oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.

Kita tidak memiliki demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial, bahkan juga tidak memiliki kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya dan kedalaman nurani keagamaan – untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani. Apapun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mohon maaf saya kutipkan pernyataan Beliau Allah SWT: "Andaikan air samudera dipakai sebagai tinta untuk menuliskan ilmu Allah, maka akan selalu habis dan kering sebelum tuntas ilmu itu engkau tuliskan, meskipun engkau tuangkan lagi dan lagi air memenuhi samudera itu berulang kali".

Lia hanya setetes air laut itu, dan kita setetes yang lain. Kita bersama Lia dan beratus Lia-Lia lainnya memiliki bekal posisi yang sama untuk saling berendah-hati dan mempertandingkan kesanggupan untuk "tahu diri". Pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kwalitasnya. Penjara adalah metoda yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.

10-8-2 dan Kontra-Hidayah

Sekitar 15 tahun yang lalu Lia Aminudin menemui saya diantarkan oleh Neno Warisman di Hotel Sofyan Betawi. Di tengah kesibukannya berdagang bunga kering ia merasa mendapatkan anugerah dari Allah diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit. 

Saya merasa disalahpahami oleh mereka berdua karena kedatangannya kepada saya adalah untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang musti ia lakukan selanjutnya dst. Tentu saya tidak memiliki pengetahuan, pengalaman, kredibilitas maupun kompetensi untuk mampu menjawab apa yang ditanyakannya. Tetapi karena wajib menghormati tamu maka saya spontan menjawab sekenanya. Saya mohon ampun kepada Tuhan karena jawaban-jawaban sok tahu itu, sambil menagih-Nya: "Ya Allah, tak mungkin bukan Engkau yang mengirimkan orang ini beserta keadaannya kepadaku, maka Engkau pulalah yang bertanggung jawab menyediakan segala fasilitas ilmu dan pengetahuan serta apapun untuk melayani tamu kiriman-Mu ini. Kalau tidak, ya Allah, apakah ada pihak lain yang sengaja mempermalukan hamba-Mu yang hina ini dengan ditabrakkan kepada situasi yang aku tak sanggup melayani".

Akhir dialog kami waktu itu saya memberanikan diri berpesan kepada Mbak Lia bahwa Allah memberikan hidayah-Nya kepada siapapun saja yang ia kehendaki. Mungkin ia menitipkan berkah tingkat tinggi kepada orang yang rendah di pandangan kita. Mungkin ia menyimpan rahasia petunjuk-Nya pada orang yang kita benci atau kita remehkan. Tapi kita tidak perlu "GR" oleh pengetahuan itu: mentang-mentang kita adalah orang yang tak berarti di tengah masyarakat maka siapa tahu justru Allah menghormati kita dengan menitipkan satu dua ilmu-Nya. Kita biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol. Kita waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual dan spiritual.

Agak gegabah saya kemukakan kepada Lia: "Mbak, kalau masuk ke dalam jiwamu melalui ubun-ubunmu pendaran sepuluh gelombang, maka insyaallah harus kita waspadai bahwa yang dari Allah kemungkinan hanya dua, sedangkan yang delapan adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari Dajjal, Jin, Iblis atau enerji dan gelombang-gelombang yang bukan dalam amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul di pikiran, hati dan pandangan batin langsung dianggap berasal dari Tuhan...."

Presidium Jin Gunung Kawi

Kemudian Mbak Lia diizinkan Allah menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra sangat berterima kasih kepadanya. Malam itu Mbak Lia datang ke Padang Bulan di Jombang, jam 02.00 malam seusai acara banyak jamaah antre diobati oleh Mbak Lia. Paginya saya antar beliau menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim, saya setiri sendiri jalan ratusan kilometer.

Setiap akan makan atau minum berhenti di warung, Mbak Lia selalu mengangkat tangannya, bilang kepada saya bahwa ia harus bertanya kepada Malaikat Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Selera Jibril ternyata OK juga, terkadang rawon terkadang nasi Padang.

Sepanjang perjalanan Jombang Bondowoso Malang, menurut Mbak Lia yang bertindak sebagai moderator: Sang Jibril menantang saya untuk "gayung bersambut". Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian sayapun bikin puisi balasan, lantas Jibril membalas lagi dan juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.

Ujung perjalanan kami hari itu adalah menjelang malam kami tiba di Gunung Kawi. Kami mendaki naik. Kendaraan kami parkir. Di suatu tempat Mbak Lia berantem ama Jin, beberapa Jin, semacam Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting membanting. Berguling-guling. Saya 'standby' saja di dekatnya. Sepanjang Mbak Lia tidak terjerumus ke dalam bahaya fisik yang serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti Jin-nya ngawur dan Mbak Lia terpojok, terluka, atau apalagi sampai pingsan dan menuju maut: sudah pasti saya tidak tinggal diam, sekurang-kurangnya saya teriak "Tolooong! Tolooong!" dan mencari Polsek terdekat.

Bereslah Indonesia

Setelah itu kami tak pernah berjumpa lagi sampai hari ini. Saya mendengar dan membaca tentang 'prestasi-prestasi' Mbak Lia yang semakin membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang "compatible" untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang 'menemani'.

Seingat saya Mbak Lia terakhir dulu sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.

Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultra-radikal menuju perbaikan yang ajaib karena 'backing'nya adalah Tuhan langsung. Kalau Maryam yang datang ke kita, maka sebagai ibundanya Rasul Cinta, pastilah teratasi masalah-masalah mendasar bangsa Indonesia dan seluruh dunia. Bahkan bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah.

Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk non-materi, bahkan bukan sekedar makhluk-frekwensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit -- meskipun beliau mandeg tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana "Cahaya Terpuji" (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.

Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tapi sekurang-kurangnya, jika Mbak Lia masuk penjara lagi, jasadnya di sel bui, tapi jiwanya merdeka. Bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta'lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi : dilacak dengan seksama apa sih sebenarnya "wahyu", bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma'unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan "mukjizat", "Ruh al-Quddus", "Adn", "Din", "Agama", dlsb. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula. *****

Dimuat di Harian Kompas Kolom Opini, Sabtu, 20 Desember 2008


Kamis, 12 Februari 2009

Open Source Terkendala Peranti Keras

Kompas : Kamis, 12 Februari 2009 | 11:15 WIB 

MAKASSAR, KAMIS — Penggunaan Indonesia Go Open Source atau IGOS Nusantara oleh instansi pemerintah masih terkendala keterbatasan driver open source peranti keras. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi telah menginventarisasi peranti keras yang memiliki driver open source, tetapi pengadaan alat komputer instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, tidak mengikuti daftar peranti keras yang disusun kantor menteri.

Hal itu disampaikan Kepala Bidang Kemitraan Lembaga Teknologi Informatika Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (Ristek) Agus Sediadi dalam Sosialisasi IGOS Nusantara di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/2). IGOS Nusantara adalah sistem operasi (OS) komputer turunan OS Linux distro Redhat, yang merupakan sistem operasi terbuka dan bebas biaya. OS ini diproyeksikan untuk menggantikan penggunaan Windows bajakan.

”Sampai sekarang driver memang masih menjadi masalah dalam penggunaan open source software, terutama untuk menjalankan aplikasi yang bersifat multimedia. Mencari driver untuk peranti seperti printer atau modem memang menjadi kesulitan bagi pengguna open source software,” kata Agus.

Membuat daftar

Menurut Agus, Kantor Menneg Ristek telah membuat daftar peranti keras yang telah memiliki driver open source. ”Daftar itu diberikan kepada setiap instansi pemerintah dengan anjuran agar pengadaan peralatan komputer mengikuti daftar itu. Dengan demikian, kantor yang menggunakan open source software seperti IGOS tidak kesulitan mencari driver peranti keras yang dibeli karena telah tersedia,” kata Agus.

Masalahnya, kata menurut Agus, pengadaan peralatan komputer oleh instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, belum mengikuti daftar peranti keras yang memiliki driver open source. ”Akibatnya, pengadaan peralatan komputer itu harus membayar mahal untuk membeli lisensi software vendor yang mengembangkan peranti lunak tertutup,” katanya.

Kepala Bagian Data dan Informasi Kantor Menneg Ristek Haryanto Sahar menjelaskan, pihaknya tengah bekerja sama dengan Free Open Source Software (FOSS) Asia-Pacific Consultation. Dengan kerja sama itu, Kantor Menneg Ristek terus memperbanyak driver open source bagi perangkat keras yang diedarkan di Indonesia.

Driver lazimnya dikeluarkan oleh perusahaan pembuat peranti keras. Kebanyakan perusahaan pembuat peranti keras hanya menyediakan driver untuk sistem operasi vendor terkenal seperti Windows.

Jika semakin banyak pengguna Linux, nantinya para pembuat peranti keras pasti akan membuat sendiri driver perangkatnya untuk sistem operasi berbasis Linux. ”Untuk mengatasi ketiadaan driver bagi open source itu, saat ini kami bekerja sama dengan FOSS Asia-Pacific Consultation,” kata Haryanto.

Yuni Ikawati

Pedagogik Guru

Kompas : Kamis, 12 Februari 2009 | 13:36 WIB 

Terbitnya UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen turut mengangkat disiplin pedagogik yang tengah dalam penantian "lonceng kematian". Terlebih lagi, terbitnya PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan standar pendidik memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi (Pasal 28, Ayat 1). Akibatnya, kini guru kembali "mencari" pedagogik sebagai salah satu kompetensinya.

Standar kompetensi pendidik diarahkan untuk memiliki kemampuan sebagai agen pembelajaran dan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun standar kualifikasi akademik pendidik harus memiliki tingkat akademik minimal berijazah S-1 atau D-4.

Kompetensi pedagogik meliputi penguasaan (a) karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan peserta didik, (b) konsep dan prinsip pendidikan, (c) konsep, prinsip, dan prosedur pengembangan kurikulum, (d) teori, prinsip, dan strategi pembelajaran, (e) penciptaan situasi pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian, (f) konsep, prinsip, prosedur, dan strategi bimbingan, (g) penerapan media pembelajaran termasuk teknologi, komunikasi, dan informasi, (h) prinsip, alat, prosedur penilaian proses, dan hasil belajar (Pasal 28, Ayat 3). Pedagogik yang hadir kembali di pentas guru seolah mengungkap suatu masa ketika di bangku sekolah guru.

Pedagogik hanya merupakan bagian terbatas dari pendidikan, yaitu tentang tindakan terhadap anak didik (atau usaha sengaja mempergunakan alat-alat) untuk mencapai tujuan pendidikan. Tindakan pedagogik, digolongkan para ahli, mencakup tiga hal utama, yaitu (a) menetapkan arah tujuan hidup anak didik, (b) memilih alternatif bantuan anak didik, dan (c) menggunakan cara (tindakan) untuk membantu anak didik. Arah anak didik

Menetapkan arah anak didik, tidak akan lepas dari persoalan tujuan hidup dan maknanya bagi anak, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Karena itu, tujuan hidup anak melekat pada nilai-nilai masyarakat dan perubahannya, serta merupakan tujuan hidup masyarakat di tempat anak berada. Wujud tujuan hidup tergambar dengan menjawab pertanyaan: bagaimana seharusnya hidup dalam masyarakat?

Apa karakteristik manusia yang dicita-citakan (manusia ideal) oleh masyarakat? Bagaimanakah gambaran kehidupan yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Jawabannya merupakan sumber acuan untuk penetapan arah tujuan hidup anak didik. Tugas pendidik, bertindak untuk menyerap (absorb) pengkristalan nilai yang terdapat dalam masyarakat dan perubahannya. Nilai itu kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup.

Bagaimana tujuan hidup harus dicapai oleh anak dalam perjalanan hidupnya merupakan tindakan pendidik berikutnya untuk dielaborasikan ke dalam tujuan pendidikan. Pengelaborasian tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan memerlukan kemampuan deduktif filosofis.

Dengan demikian, kedudukan filsafat dan filsafat pendidikan dalam keseluruhan pedagogik sangat berperan, terutama pada penentuan tujuan pendidikan, yaitu bagaimana menjabarkan/mengelaborasikan filsafat hidup atau tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan. Kesesuaian antara filsafat hidup dan tujuan pendidikan dapat menentukan hasil pendidikan yang akan dicapainya.

Jadi, guru dituntut memiliki kompetensi pedagogik yang berkenaan dengan mekanisme penyerapan kristalisasi nilai yang menjadi harapan masyarakat, kemudian dirumuskan menjadi tujuan pendidikan. Maka, kompetensi pedagogik guru kiranya terletak pada dimensi yang bersifat filosofis, terutama tentang filsafat pendidikan.

Persoalan pokok memilih alternatif bantuan anak didik menyangkut jawaban atas pertanyaan: apakah pandangan pendidik tentang hakikat anak didik? Atas hakikat anak didik, apakah cara bantuan dari pendidik itu? Pertama, tentang hakikat anak yang dikemukakan para ahli dan pandangannya itu berbeda-beda. Ada yang berpandangan bahwa anak ciptaan Tuhan. Ada pula pandangan bahwa anak lahir dari manusia yang telah berevolusi dari makhluk lain (primata).

Nietzsche memandang anak adalah unfixed animal. Dari pandangan itu, ditafsirkan bahwa anak menghayati dirinya sebagai perkembangan senantiasa. Ia adalah suatu transendensi diri yang terus-menerus (Fuad Hassan, 1981). Konsekuensi perbedaan pandangan tentang anak didik akan berbeda pula cara bantuan dari pendidiknya itu. Kedua, cara bantuan dari pendidik bagaimanakah yang efektif untuk mempersiapkan penyelenggaraan interaksi selama transendensi diri anak atau sepanjang perkembangannya? Ada beberapa alternatif cara bantuan yang satu sama lain berlawanan, yaitu pertama, memandang perjalanan hidup anak ditentukan oleh bakat yang dimilikinya untuk mengolah interaksi dengan lingkungan. Karena itu, cara bantuan pendidik sebatas mengawasi lingkungan untuk berinteraksi anak.

Kedua, memandang perjalanan hidup anak belum berkemauan sehingga perlu dirangsang oleh lingkungannya agar anak berinteraksi. Cara bantuan pendidik adalah menciptakan lingkungan yang interaktif bagi anak. Hal ini penting karena lingkungan berpengaruh besar bagi keberhasilan anak.

Ketiga, memandang perjalanan hidup anak merupakan sintesis antara bakat dan pengaruh lingkungan. Pandangan ini bernama konvergensi. Cara bantuan pendidik adalah usaha memadukan antara bakat anak dan penciptaan penataan dan iklim lingkungan.

Cara memengaruhi

Di samping alternatif di atas, usaha membentuk keberhasilan cita-cita anak itu yaitu para pendidik pun harus percaya adanya nasib dan takdir bagi manusia, termasuk anak, yaitu bagaimana pendidik memengaruhi anak seefektif mungkin supaya cita-cita anak tercapai/terwujud.

Cara memengaruhi anak dipengaruhi kondisi variabel: jenis kelamin, posisi anak, cita-cita anak, waktu, dan kepribadian pendidik. Cara memengaruhi anak dengan jenis kelamin laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Posisi anak sulung berbeda dengan anak bungsu, tengah, tunggal, dan satu anak wanita di antara sejumlah anak laki-laki atau sebaliknya.

Demikian pula cara memengaruhi anak yang bercita-cita menjadi pebisnis akan berbeda dengan anak yang bercita-cita menjadi olahragawan atau musisi. Cara memengaruhi anak pada waktu lalu adalah dengan mendongeng sebelum gencarnya media massa, sedangkan sekarang bisa melalui buku, film, VCD, dan lain lain.

Kepribadian pendidik sangat menentukan cara memengaruhi anak karena bukan his so doing and his so saying, melainkan his so being. Cara memengaruhi anak bukan dengan perilaku dan nasihat belaka, melainkan juga dengan martabat pendidiknya. Moto bagi guru: "tak dapat mengajarkan apa yang diketahuinya, melainkan hanya dapat mengajarkan siapa orang (guru) it".

Jadi, kompetensi guru berkenaan dengan pedagogik seyogianya memerhatikan materi tentang filsafat hidup atau tujuan hidup masyarakat, pola asuh anak dalam masyarakat, dan kepribadian guru.

OONG KOMAR Dosen Pascasarjana UPI

Rabu, 11 Februari 2009

Gerakan Bank Sampah dari Bantul

Senin, 1 Desember 2008 WIB
Setiap pukul 16.00, antrean nasabah bank sampah biasanya sudah panjang. Mereka bukannya menanti giliran menyetor uang seperti di bank pada umumnya, melainkan sampah yang mereka kumpulkan selama dua hari. Meski yang disetorkan wujudnya tidak sama, pengelolaan bank sampah mirip dengan bank pada umumnya.

Setiap nasabah datang dengan tiga kantong sampah berbeda. Kantong I berisi sampah plastik, kantong II sampah kertas, dan kantong III berupa kaleng dan botol. Ketika menimbang sampah, nasabah akan mendapat bukti setoran dari petugas teller. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah, yang kemudian dicatat dalam buku tabungan. Untuk membedakan, warna buku tabungan tiap RT dibuat berbeda.

Setelah sampah terkumpul banyak, petugas bank menghubungi tukang rosok. Tukang rosok memberi nilai ekonomi tiap kantong sampah milik nasabah. Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran dan kemudian dibukukan.

Harga sampah bervariasi bergantung pada klasifikasinya. Kertas karton dihargai Rp 2.000 per kg, kertas arsip Rp 1.500 per kg. Sedangkan plastik, botol, dan kaleng harganya menyesuaikan ukuran.

Tiap nasabah memiliki karung ukuran besar, yang tersimpan di bank untuk menyimpan seluruh sampah yang mereka tabung. Tiap karung diberi nama dan nomor rekening tiap nasabah. Tujuannya agar setiap tukang rongsok datang, petugas bank tidak kebingungan memilah tabungan sampah tiap nasabah. Karung- karung sampah itu tersimpan rapi di gudang bank.

Gemah Ripah

Bank Sampah Gemah Ripah, didirikan masyarakat Dusun Bandegan, Bantul, DI Yogyakarta, tiga bulan lalu. Kini jumlah nasabahnya 41 orang dari 12 RT di dusun tersebut. Pada tahap awal mereka masih membatasi diri untuk warga satu dusun, tetapi bila sudah memungkinkan nasabah tidak akan dibatasi asalnya.

Tidak semua sampah disetor ke tukang rosok. Sebagian di antaranya, yakni jenis plastik sachet dan gabus, diolah sendiri oleh bank sampah. ”Plastik sachet kami hargai Rp 15 per sachet, sementara gabus bergantung pada ukuran,” ujar Ismiyati, koordinator daur ulang sampah.

Plastik-plastik itu lalu diolah untuk membuat aneka aksesori rumah tangga, seperti tas, dompet, hingga rompi. Barang-barang tersebut dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 35.000. ”Beberapa pembeli asing minta dikirim contoh barang. Kalau mereka setuju, pesanan yang kami terima akan menumpuk. Karenanya, stok bahan baku harus banyak. Kami sudah meminta warga untuk lebih aktif menabung sampah,” katanya.

Sampah jenis gabus biasanya dibuat menjadi pot bunga, tempat dudukan bendera, atau perlengkapan rumah tangga lainnya. Gabus-gabus itu dicampur dengan pasir dan semen. ”Produksi dari bahan gabus pesananannya masih lokal saja,” kata Ismiyanti

Menurut Panut Susanto, ketua pengelola bank sampah, sampah yang terkumpul tiap minggu mencapai 60-70 kg. Untuk sementara jam layanan bank dimulai pukul 16.00-21.00 tiap hari Senin-Rabu-Jumat. ”Kami baru bisa melayani pada sore hari karena sebagian besar petugas bank harus bekerja pada pagi hari,” katanya.

Belum maksimalnya kinerja petugas karena mereka mengelola bank sampah tanpa dibayar. Artinya, mereka harus tetap bekerja untuk membiayai kehidupan keseharian. ”Apa yang kami kerjakan sifatnya masih sosial. Jadi, kami memang tidak mengharapkan upah karena kondisi bank belum maksimal,” katanya.

Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, seperti fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. ”Selama ini tidak ada nasabah yang keberatan. Kami harus melakukan pemotongan karena bank ini memang dikelola bersama-sama,” katanya.
Nasabah menabung sampah dalam bungkusan di Bank Sampah
Gemah Ripah di Dusun Bandegan Bantul, Oktober 2008.

Berbeda dengan bank tempat nasabah bisa mengambil dana setiap saat, di bank sampah nasabah hanya bisa menarik dana setiap tiga bulan sekali. Tujuannya agar dana yang terkumpul bisa lebih banyak sehingga uang tersebut dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan yang bersifat produktif.

”Kalau dibebaskan, mereka bisa konsumtif. Baru terkumpul Rp 20.000-Rp 30.000 sudah tergiur untuk mengambil. Karena hanya tiga bulan sekali, mereka bisa menarik dana sampai Rp 100.000-Rp 200.000 bergantung pada banyaknya sampah yang ditabung,” kata Bambang Suwirda, penggagas bank sampah.

Tersimpan

Menurut Bambang, dana kelolaan yang saat ini tersimpan tinggal Rp 500.000. Sebagian besar nasabah sudah mengambil saat Lebaran lalu. Untuk sementara, dana nasabah disimpan sendiri oleh pengelola bank. Ke depan, pengelola akan menjalin kerja sama dengan Bank Bantul untuk menyimpan dana nasabah.

Para pengelola bank juga bertekad memperluas operasional bank agar tidak terbatas pada penyimpanan, tetapi juga peminjaman. ”Dalam konsep bank sampah, barang jaminan mungkin berupa sampah juga,” katanya.

Fokus sampah yang dikumpulkan saat ini masih sebatas sampah anorganik. Ke depan, sampah organik juga akan diterima, yang selanjutnya diolah menjadi pupuk kompos.

Bagi para nasabah, keberadaan bank sangat membantu. Mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sekaligus kebersihan lingkungan sekitar terjaga. ”Lumayanlah tiap bulan ada pemasukan tambahan. Hitung-hitung buat nambah dana belanja dapur,” kata Sutiyani, warga setempat.

Bila gerakan bank sampah bisa meluas ke berbagai desa, masalah sampah bisa tertangani. Tak hanya itu, perekonomian masyarakat juga ikut membaik sehingga angka kemiskinan bisa ditekan.

Di Bantul, produksi sampah per hari mencapai 614 meter kubik. Sayangnya, pemerintah daerah setempat belum berpikiran ke arah itu. (ENY PRIHTIYANI)

sumber : kompasCetak

Senin, 02 Februari 2009

Olimpiade Sains

Menghadapi seleksi olimpiade sains tingkat kabupaten/kota yang biasanya dilaksanakan bulan April-Mei, sekolah mulai mengadakan seleksi dan pembinaan khusus untuk siswa yang akan mewakili sekolah masing-masing. Persiapan yang matang lebih menentukan dibandingkan dengan tingkat kecerdasan siswa, karena model soal sudah mulai bisa diterka-terka oleh pembina olimpiade tingkat sekolah. Apalagi begitu banyak soal dan solusi yang bisa diunduh dari internet. Kita sebagai guru pembina tingkat sekolah merasa cukup terbantu dengan itu. Terima kasih banyak kepada Babapk-Ibu yang rajin mengupload file-file tersebut.

Link-link tersebut a.l :

  1. ajangkompetisi.wordpress.com 
  2. nusantaranews.wordpress.com

GEOSAINS

Ditulis pada Februari 15, 2008 oleh Afdal Syukri 

Judul buku : Geosains
Pengarang : Bayong Tjasyono HK
Penerbit : ITB


Geosains adalah ilmu yang mempelajari bumi sebagai anggota planet dalam tata surya. Lingkup geosains meliputi bumi dalam tata surya, bumi bagian gas atau atmosfer, bumi bagian cair atau hidrosfer, bumi bagian padat atau litosfer dan fenomena fisis yang terjadi di bumi. Geosains menekankan interaksi manusia dengan alam dalam lingkup fenomena fisis.
Tata surya terdiri atas Matahari dan 9 planet yang mengelilinginya yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto, serta benda planet lainnya seperti satelit, asteroit, komet dan meteor. Setiap planet diikuti oleh benda langit yang lebih kecil disebut satelit. Dari 9 planet di dalam tata surya, hanya Merkurius dan Venus yang tidak memiliki satelit. Asteroid berjumlah ribuan, sebagian besar berada dalam ruang antara lintasan Mars dan Jupiter pada jarak antara 3 - 4 kali jarak rata-rata Matahari - Bumi. Asteroid tidak berbentuk bulat seperti planet melainkan berbentuk bongkahan dengan sisi yang tidak terdeskripsi secara geometris. Kadang-kadang asteroid disebut planetoid yang asal muasalnya masih diperdebatkan hingga saat ini. Asteroid pertama kali ditemukan pada tanggal 1 Januari 1801 oleh Piazzi dan diberi nama Ceres. Komet biasa disebut juga dengan bintang berekor. Ekor komet merupakan bagian dari kepala komet yang terhembus dari tempatnya akibat gaya dorong Matahai yaitu radiasi dan angin Matahari (solar wind). Energi ini yang menyebabkan ekor komet selalu menjauhi matahari. Meteor adalah fenomena emisi cahaya dalam atmosfer bumi. Meteor sering disebut bintang jatuh. Model tata surya: Model Geosentris Lebih dari 2000 tahun yang lalu telah diterima model sistem matahari geosentris yang dikemukakan oleh ahli astronomi Yunani kuno, Hipparchus pada tahun 140 Sm (sebelum masehi). Dalam model geosentris dikemukakan bahwa Matahari, bintang, planet dan bulan bergerak mengelilingi bumi. Teori ini kemudian dikembangnkan oleh Claudius Ptolemaeus sekitar tahun 150 TM (tarik masehi) yang disebut teori Ptolemaeus. Model Heliosentris Ahli astronomi Yunani, Aristarchus (310 - 230 SM), pernah menyarankan bahwa matahari mungkin berada pada pusat alam semesta dan bumi mengitarinya. Konsep heliosentris ini belum mendapat tempat dalam bidang astronomi. Baru pada tahun 1543 terjadi revolusi ilmiah besar-besaran karena Copernicus (1473 - 1543) mengganti model Geosentris dengan model Heliosentris yang lebih sederhana. Bumi diperkirakan lahir 4,5 milyar tahun yang lalu. Umur bumi dapat diperkirakan dengan ditemukannya materi radioaktif. Bumi berotasi mengelilingi sumbu imaginernya dengan periode 23 jam 56 menit dan berotasi dari barat ke timur, akibatnya benda-benda langit tampak melakukan peredaran semu dari timur ke barat. Bumi juga melakukan revolusi mengelilingi matahari dengan periode 365,3 hari. Pada tanggal 21 Maret dan 23 September kedudukan matahari tepat di ekuator disebut ekinoks. Pada tanggal 22 Juni dan 22 Desember keduduka matahari berada paling jauh dari ekuator disebut Solstis. Planet-planet yang berada diantara Matahari dan bintang berevolusi terhadap matahari dengan orbit berbentuk lingkaran. Model Copernicus tentang orbit planet kemudian disempurnakan oleh Johannes Keppler (1571 - 1630) yang menjadikan orbit planet bukan lingkaran tetapi elip. Selama planet berevolusi mengelilingi Matahari, yang disebut tahun laneter, jarak antara planet dan Matahari berubah. Bila planet mendekati matahari dikatakan planet berada pada perihelion (bahasa Yunani Peri artinya disekitar atau dekat, dan Helios artinya Matahari). Sebaliknya bila planet berada pada jarak terjauh dari matahari dikatakan planet berada pada Aphelion (bahasa Yunani Ap artinya jauh). Bumi berada pada Aphelion dalam bulan Juli dan Perihelion dalam bulan Januari. Empat planet yang terdekat dengan matahari yaitu Merkurius, Venus, Bumi dan Mars disebut planet dalam dan planet sisanya yaitu jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto disebut planet luar. Pluto belum pasti planet, beberapa ahli astronomi percaya bahwa pluto adalah sebuah satelit Neptunus yang terlepas. Semua planet berevolusi mengelilimgi Matahari dalam ara yang sama. Semua planet kecuali Uranus berotasi dalam arah yang sama disekitar sumbunya. Semua orbit planet kecuali Merkurius dan Pluto terletak dalam bidang yan sama. Bidang orbit bumi disebut ekliptika. Dari kenyataan bahwa planet-planet terletak hampir pada bidang datar disekitar matahari, maka pembentukkan tata surya, yaitu planet-planet menurut hipotesisi teori lahir Matahari atau difuga kelahiran itu dari ujud yang sama dengan Matahari. Hipotesis kabut atau teori Kondensasi (pengentalan) Teori yang terkenal dengan pembentukan Matahari dan planet-planet didasarkan pada hipotesis kabut (Nebular). Teori ini yang pertama kali dikemukakan oleh ahli filosofi Jerman, Immanuel Kant pada tahun 1755, kemudian dikembangkan oleh ahli matematika Perancis, Pierre Laplace pada tahun 1796. Menurut hipotesis kabut, matahari dan planet-planet berasal dari kabut pijar yang berpilin di dalam jagad raya. Akibat perputaran, sebagian massa kabut terlepas dan membentuk gelang-gelang disekeliling bagian utama gumpalan kabut tersebut. Gelang itu lambat laun membentuk gumpalan yang kemudian memadat menjadi planet. Teori Planetisial Pada awal abad ke 20, dua orang ilmuan Amerika TC Chamberlain (1843 - 192 dan FR Moulton (1872 - 1952), mengemukakan teori Planetisimal. Menurut teori mereka, didalam kabut terdapat material padat yang berhamburan, yang disebut Planetisimal. Benda-benda padat ini kemudian saling menarik dengan gaya tariknya masing-masing dan lambat laun terbentuk gumpalan besar yang disebut planet. Teori Vorteks dan Protoplanet Teori Planetisimal dan teori modern pada dasarnya berawal dari hipotesisi kabut Kant dan Laplace. Teori modern dikembangkan oleh teori ini. Pertama, Nebula (kabut) mula-mula bergolak (turbulen), tidak diam. Gerakan nebula ini membantu pembentukan planet. Kedua, pembentukan planet sekurang-kurangnya melalui dua proses yaitu pembentukan Planetisimal dan Protoplanet (gumpalan kabut gas). Menurut Von Weiszacker, Nebula terdiri atas vorteks-vorteks (pusaran-pusaran) yang merupakan sifat gerakan gas. Gerakan gas dalam Nebula menyebabkan pola sel-sel yang bergolak (turbulen). Pada batas antar sel-sel turbulen, terjadi tumbukan antar partikel yang kemudian membesar danmenjadi planet. Teori yang dikemukakan oleh Von Weiszacker ini disebut teori vorteks. Kuiper mengemukakan bahwa planet terbentuk melalui turbulensi (golakan) Nebula yang membantu tumbukan Planetisimal sehingga Planetisimal membentuk menjadi Protoplanet dan kemudian menjadi planet. Teori yang dikemukakan oleh Kuiper ini disebut teori Protoplanet. Mulai bab 4 sampai bab 6 buku ini mengulas tentang bumi yang terdiri dari hidrosfer, atmosfer dan litosfer. Sedangkan dua bab terakhir berisi tentang fenomena alam. Fenomena fisis alam sering menimbulkan bencana misalnya badai guruh, kekeringan, banjir, El Nino, La Nina, siklon tropis, arus dan gelombang laut, vulkano, gempa bumi dan tsunami. Indonesia termasuk negara paling sering dilanda bencana alam, terutama bencana kebumian. Badai guruh merupakan fenomena fisis atmosfer yang sering terjadi di Indonesia. Fenomena ini dapat menimbulkan korban jiwa akibat sengatan luah listrik pada waktu terjadi petir. Wilayah Indonesia termasuk salah satu daerah yang paling sering dilanda petir di dunia, ini disebabkan wilayah Indonesia termasuk daerah konveksi yang aktif. Siklon tropis merupakan bencana alam yang paling dahsyat dibandingkan bencana alam lainnya. Beruntung daerah Indonesia tidak terkena jalur siklon tropis sehingga dampaknya tidak secara langsung tetapi melalui cuaca, yaitu peningkatan curah hujan, kecepatan angin dan tinggi gelombang laut. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena alam El Nino dan La Nina terhadap wilayah Indonesia cukup besar. El Nino tahun 1982/1983 dan 1997/1998 menyulut kebakaran hutan yang tidak terkendali di Kalimantan dan menewaskan ratusan sampai ribuan penduduk. El Nino menyebabkan kekeringan atau kemarau panjang sedangkan La Nina menyebabkan banjir atau kemarau pendek di Indoensia. Gempa bumi adalah bencana alam yang sering melanda wilayah Indonesia karena Indonesia dilalui 2 sabuk seismik yaitu sabuk seismik lingkar pasifik dan Mediteran. Indonesia juga mempunyai banyak gunung api atau vulkano terjadi jika magma dengan kekentalan tinggi mempunyai kandungan gas tinggi. Magma yang kurang kental dengan kandungan gas kecil akan mengalir dengan tenang.

Astronomi adalah ilmu yang dikenal ada sejak awal keeradaan manusia di bumi ini. Astronomi pernah berkembang menjadi ilmu besar yang membantu manusia dalam hidupnya. Meski akhirnya harus bergeser seiring dengan ditemukannya ilmu-ilmu lain yang lebih pragmatis. Penguasaan ilmu astronomi tetap diperlukan. Beberapa permasalahan hidup tetap mengharuskan manusia mempelajari astronomi, terutama kaum muslimin. Banyak pengamalan syariat agama yang mengharuskan tetap mempelajari astronomi. Penentuan awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan.

Adanya olimpiade Astronomi ditingkat SMP ( Yunior) dan SMA (Senior) adalah awal pengenalan mereka dengan ilmu astronomi. Beberpa situs atau blog bisa dijadikan media belajar antara lain :

  1. www.astronomynotes.com
  2. hansgunawan-astronomy.blogspot.com/. Selamat berlomba.

Wadah Makanan dan Minuman Berbahan Baku Styrofoam dapat Memicu Kanker

Senin, 2 Februari 2009 

Jakarta, Kompas - Wadah makanan dan minuman berbahan baku styrofoam dapat memicu kanker yang mengakibatkan kematian.

Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Baruna yang dihubungi hari Minggu (1/2) menjelaskan, pihaknya mendapati banyak limbah bisnis makanan yang menggunakan bahan baku styrofoam.

”Kami mengolah ribuan ton limbah di DKI setiap hari. Ternyata didapati styrofoam masih digunakan secara luas untuk wadah makanan dan minuman. Ini sangat membahayakan karena dapat memicu kanker saraf,” kata Eko.

Menurut Eko, penggunaan microwave untuk memanaskan makanan dalam wadah styrofoam semakin memperburuk keadaan. Panas yang dihasilkan mengakibatkan bahan kimia dari styrofoam tercampur ke dalam makanan yang dikonsumsi secara masif.

Sejumlah restoran cepat saji skala besar masih menggunakan bahan baku styrofoam dalam penyajian makanan yang disantap konsumen di luar. Eko telah berulang kali merekomendasikan menggunakan bahan baku kertas dan karton yang lebih tidak berisiko bagi kesehatan.

Selain styrofoam, penggunaan ulang botol minuman air mineral yang berbasis bahan kimia polyethylene trapeline (PET) juga dapat memicu kanker saraf.

Eko mengingatkan, perubahan suhu seperti panas dapat membuat bahan kimia dalam unsur PET meracuni cairan minuman yang diisikan kembali. Lambat laun bahan kimia akan terakumulasi dan memicu penyakit mematikan.

Setiap hari, ada 6.000 ton sampah yang diolah Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Eko melanjutkan, dari jumlah itu, 45 persen adalah sampah anorganik. Sebanyak 60 persen sampah anorganik merupakan plastik yang sulit diurai dan mengandung bahan kimia berbahaya. (ONG)

Sabtu, 31 Januari 2009

Terhormat

Minggu, 25 Januari 2009 | 02:03 WIB 
Samuel Mulia

Pada suatu hari saya bersama dua teman duduk-duduk menikmati sore yang mendung, atau saya lupa antara mendung dan menjelang malam.

Kami menyeruput minuman hangat dan kue kering yang menggemukkan. Satu dari teman saya bercerita. Cerita yang memberi saya inspirasi untuk tidak hanya menulis parodi minggu ini, tetapi mengevaluasi diri saya sendiri sebagai makhluk sosial, sok sial atau sial beneran. Begini ceritanya.

Adalah seorang tokoh, dia bertemu dengan teman saya dan seorang bawahannya. Pertemuan itu dibuat dalam rangka acara kumpul-kumpul sang tokoh dan konco-konconya dan teman saya bersama bawahannya itu menjadi penyelenggara acara itu. Bawahannya itu perempuan yang dianugerahi Tuhan Sang Pencipta bentuk badan aduhai dan payudara yang sama aduhainya.

Singkat cerita pertemuan itu berakhir. Beberapa waktu kemudian, teman saya itu ditelepon oleh sang tokoh untuk mengingatkan kalau acara kumpul-kumpul itu dilaksanakan ia mau bawahan teman saya itu berpakaian sopan. ”Jangan membuat saya malu. Yang akan hadir adalah teman-teman saya. Orang-orang terhormat.”

Bingung

Orang-orang terhormat. Itulah yang menggelitik. Menggelitik nurani saya untuk bertanya apa arti terhormat dan apakah saya masuk dalam kelompok itu?

Setelah pertemuan yang terjadi dua minggu lalu itu saya tak bisa konsentrasi. Kemudian saya berbicara dan berpikir untuk mengerti kata itu tanpa melihat kamus untuk tahu apa arti kata terhormat sesungguhnya.

Sebagai penulis, saya mulai keder dengan kata itu. Apakah selama ini tulisan saya telah membuat orang berpikir saya penulis terhormat? Kalau ya, apakah itu karena saya menulis di harian ini yang memang dianggap sebagai medium yang bisa membuat seorang menjadi terhormat? Karena harian ini sangat canggih, bahasa dan laporannya sangat akurat dan inggil. Jadi, saya terhormat bukan karena tulisan, tetapi karena kena imbas akan keterhormatan koran ini.

Sebaliknya apakah koran ini khususnya edisi Minggu menjadi tidak terhormat atau kurang dibandingkan edisi biasanya karena ada tulisan saya yang sama sekali tak membahas soal Obama, soal politik, serta soal ekonomi dan keuangan? Tulisan yang jauh dari memampukan orang mengernyitkan dahi, terlalu ringan dan mudah dimengerti, terlalu ecek-ecek, tulisan kepret.

Kemudian saya berandai-andai mendapat penghargaan Nobel karena tulisan kepret itu. Apakah kemudian saya penulis kepret ini mendadak terhormat di mata orang? Atau kemudian saya memandang diri sendiri menjadi penulis terhormat? Kemudian saya minta diganti status saya pada akhir tulisan, bukan sebagai pengamat mode dan gaya hidup lagi, tetapi menjadi pemenang Nobel.

Saya terus bertanya. Apakah kalau saya bergaul dengan pemabuk dan pelacur, saya berarti tak memiliki teman-teman terhormat? Apakah saya harus duduk dengan para bankir kondang, politikus, dan koruptor kondang? Apakah koruptor bukan manusia terhormat?

Buat saya mungkin tidak, tetapi buat anak-istrinya yang tiba-tiba bisa pakai mobil mewah dan bisa menyelesaikan pendidikannya di sekolah terbaik, ia adalah manusia yang akan dihormati anggota keluarga. Bagaimana tidak, ia bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya. Bingung, bingung, bingung … aku bingung.

Mbak Monica

Kemudian saya terbayang pada kasus Mbak Monica Lewinsky dan Pak Clinton. Apakah tindakan Mbak Monica itu terhormat?

Nurani saya bilang, ”Yaaa… enggaklahhh, jeung….”

Namun, menurut saya, ia terhormat. Karena si Mbak melakukan hal-hal enak itu dengan Sang Presiden, yang pasti dianggap manusia terhormat. Jadi, dia terhormat karena melakukan dengan orang terhormat. Sama mungkin kalau saya kumpul-kumpul dengan kalangan terhormat, apa pun bentuk dan kegiatan yang dilakukan, maka saya di asosisasikan terhormat. Bukankah begitu?

Kemudian saya bertanya lagi, kalau saya diundang Mbak Monica untuk acara jamuan minum teh, akankah saya datang memenuhi undangan itu? Karena kalau saya hadir, bisa jadi saya diasosiasikan sebagai salah satu anggota ikatan pengganggu manusia terhormat.

Saya jadi ingat lagi soal tangan kiri dan tangan kanan. Contoh yang berkali-kali saya tulis karena mungkin sudah tak ada contoh lain. Saya tak pernah menghormati tangan kiri karena saya diajar tangan kiri itu kotor.

Sekarang saya berpikir, tangan kiri itu sangat terhormat, selain mulia, karena ia diciptakan untuk membersihkan yang kotor. Dan, seingat saya, tangan kiri itu justru tak pernah mengotori. Sekali lagi ia diciptakan untuk membersihkan yang kotor. Terhormatkah itu? Apakah karena membersihkan hal yang kotor, ia menjadi tidak terhormat. Bagaimana kalau dilihatnya dari sisi hal membersihkannya, yang kalau diterapkan dalam keseharian belum tentu semua orang bersedia melakukannya. Termasuk saya.

Obrolan sore menjelang malam itu melintas lagi di benak saya. Kalau bawahan teman saya itu diciptakan demikian dan cara berpakaiannya yang sopan masih saja mampu membuat orang terganggu, apakah itu seratus persen kesalahannya? Tidakkah mata yang menilai juga memiliki andil dalam menilai seseorang terhormat atau tidak?

Belum lagi kalau memperhitungkan mata itu memang mata yang dari sononya sudah biru seperti film esek-esek, tetapi tak kelihatan karena mata ”biru” itu dimiliki manusia terhormat. Saya belajar sesuatu, kalau saya mau menilai, mungkin mata saya dulu yang perlu dibenahi. Kalau perlu pakai kacamata dan kalau tak bisa juga, mending dicungkil saja.

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

Kilas Parodi

VIP atau VIP?

1. Saya pernah beberapa kali mendapat undangan dengan tulisan di sisi kanan atas tiga huruf sakti VIP dan beberapa VVIP. Terhormatkah saya dibandingkan dengan mereka yang tak VIP?

Harus saya akui, yaaahhh … saya merasa senang karena duduk terdepan bersama manusia terhormat itu. Untuk sesaat saya merasa juga terhormat. Tetapi setelah itu, setelah saya pulang ke rumah, saya pulang ke rumah orang yang menyimpan saya. Atau ke rumah yang atas nama saya, tetapi didapat dari hasil lenguhan. ”Kudaaa… kale,” nurani saya berkicau seperti biasa.

Masihkah saya terhormat? Ternyata terhormat itu bisa jam-jaman seperti ke panti pijat. Saat tertentu saya benar VVIP atau VIP alias very very important person, tiga jam kemudian saya masih tetap VVIP atau VIP, alias very very idiot person.

2. Nama yang saya pakai sehari-hari adalah seperti yang Anda baca pada akhir artikel ini. Padahal, saya punya nama tengah. Budiawan. Dulu dan sampai sekarang saya malu mengapa bapak saya memberi nama tengah demikian.

Bukan soal jelek atau bagus, hanya saja dampaknya yang harus saya tanggung. Budiawankah saya? Seseorang yang berbudikah saya? Karena kalau saya berbudi apakah itu juga terhormat?

Masalahnya perjalanan hidup saya memperlihatkan bahwa saya jauh dari berbudi. Apalagi kalau Anda tanyakan kepada teman saya dan mereka yang membenci saya sampai hari ini. Saya tak menyalahkan mereka. Karena memang demikian adanya.

Jadi, nama saya itu memberatkan saya, mengharuskan saya melakukan perilaku yang sesuai dengan nama. Mau ganti nama malah makin malu saja. Bisa jadi ada baiknya ayah saya memberi nama saya begitu, supaya bisa sebagai pagar untuk tidak hidup nyeleneh. Siapa tahu saya bisa terhormat dengan itu. Hi-hi-hi....

3. Terhormatkah saya kalau saya ini keturunan darah biru? Saya tak mengerti mengapa disebut darah biru lha wong darah itu merah.

”Itu bedanya sama kamu, Jeung. Merah itu standar, enggak berkelas. Semua orang darahnya merah. Sama saja. Untuk berbeda maka biru saja. Jadi ketok bedo. Terpinggirkan dan yang tak terpinggirkan,” nurani saya berbunyi lagi.

Terus saya berbicara di dalam hati. Tetapi, biru itu kan artinya enggak selalu bagus. Film biru. I’m feeling blue, misalnya. ”Walah kalau itu I ndak ikut-ikut,” nurani saya berkomentar lagi. Saya suka lupa kalau bicara sendiri itu yaa… bicara sama nurani saya. Saya ini memang bego, sukanya memancing macan tidur. ”Mas, mancing itu ikan, bukan macan tidur,” kata nurani itu lagi. (Samuel Mulia)

Sampah Ciliwung Sumber Rupiah



KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Petugas rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau yang terletak di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, menggiling sampah organik sebelum diolah menjadi kompos, Rabu (28/1). Setiap hari rumah kompos di bawah naungan Sanggar Ciliwung tersebut mengolah 40 kilogram sampah organik dari lima rukun tetangga di kawasan tersebut. Rumah kompos yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat tersebut dimaksudkan mengurangi pembuangan sampah ke sungai.
/
Jumat, 30 Januari 2009 | 08:30 WIB

Usaha mengatasi masalah sampah, termasuk sampah Ciliwung, tak hanya dapat dilakukan dengan mencari alternatif tempat pembuangan akhir lain. Solusi masalah sampah juga bisa ditemukan dengan menumbuhkembangkan pandangan bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi yang menguntungkan.

Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Apakah sampah bisa menjadi pemicu bencana banjir atau menghasilkan rupiah, itu sangat bergantung pada sikap warga menghadapi limbah rumah tangga yang jumlahnya melimpah di Sungai Ciliwung.

Jika dikelola dengan baik, sampah ternyata tak selalu jadi masalah. Sanggar Merdeka Ciliwung, kelompok pemberdayaan masyarakat bantaran Ciliwung di RT 5 dan 8 RW 12 Bukit Duri, Jakarta Selatan, telah membuktikannya. ”Sekarang ada sepuluh orang yang terlibat bisnis sampah. Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat (39), seorang warga Kelurahan Bukit Duri.

Sampah yang menjijikkan mampu mereka olah hingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan mengolah sampah menjadi kompos sekaligus mendidik warga untuk mau memilah sampah. Meskipun pemisahan antara sampah organik dan anorganik oleh warga belum sempurna, langkah ini mampu mengubah gaya hidup warga bantaran kali dan mengajak mereka untuk hidup lebih sehat.

Dari 50-80 kilogram sampah organik, yang terdiri atas sayuran, sisa makanan, dan tumbuhan, setelah ditambah dengan bahan-bahan pengurai bakteri mampu menghasilkan sekitar 100 kilogram kompos. Harga jual kompos Rp 5.000 per kilogram. Kekurangan pasokan sampah dari warga ditutup pengelola dengan sampah sayuran yang diambil dari Pasar Jatinegara.

Setelah didampingi selama 15 tahun lebih, warga bantaran Ciliwung akhirnya mau mengolah sampah. Dengan memberinya nilai ekonomis, sampah akan dilihat warga kelas bawah yang berpenghasilan minim sebagai peluang menambah rezeki.

Peluang emas

Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia Sri Bebassari mengingatkan, kontributor sampah bukan hanya masyarakat, tetapi juga industri yang jumlahnya sangat besar. Setiap orang menghasilkan sampah sebanyak 0,5 kilogram per hari. Sumber sampah yang dihasilkan, salah satunya, adalah dari penggunaan produk-produk industri, terutama aneka kemasan makanan dan minuman dari plastik.

”Selama ini yang disalahkan hanya konsumen. Demi keadilan, produsen yang menghasilkan barang-barang yang digunakan konsumen juga harus dituntut tanggung jawabnya,” kata Sri Bebassari. Produsen seharusnya menggunakan kemasan produk yang dapat dengan mudah diurai alam, seperti plastik yang cepat terurai atau mengganti plastik dengan kertas.

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Setyo Sarwanto Moersidik menambahkan, pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah umumnya masih bertumpu pada proyek pembangunan fisik, berteknologi tinggi, dan membutuhkan investasi besar.

Padahal, sebagian masyarakat masih memiliki modal sosial yang tinggi dan dapat diberdayakan, khususnya untuk pengelolaan sampah. ”Pemerintah masih belum memandang rekayasa sosial dalam penanganan sampah sebagai hal yang penting,” ujar Setyo.

Kondisi itu justru sering kali menimbulkan kekonyolan dalam pengelolaan sampah. Warga disuruh membuang sampah ke tempat sampah, tetapi tak ada tempat sampahnya. Warga diminta memisahkan sampah kering dan basah, tetapi setelah diangkut ke tempat pembuangan sementara, sampah berbeda jenis itu kembali disatukan.

Setyo mengakui, memang tidak semua masyarakat dapat diberdayakan untuk mengelola sampahnya sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat mana saja yang dapat digarap. Penentuan kelompok masyarakat ini juga harus dilakukan dengan memerhatikan etnohidrolik atau budaya airnya. Hal ini akan memberikan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampahnya di kali, bukan dengan seruan semata.

Salah satu kelompok masyarakat yang dapat diberdayakan adalah kelompok kaum ibu yang tergabung dalam kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) seperti pada masa Orde Baru. Memang cara ini masih melibatkan peran pemerintah yang cukup kuat. Namun, cara itu mampu mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit. ”Masih 30-40 persen warga Jakarta dapat didorong untuk membuat sistem pengelolaan sampah mandiri, termasuk mereka yang berasal dari pendidikan tinggi maupun ekonomi menengah,” katanya.

Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri memang membutuhkan waktu panjang. Tetapi, hal itu harus dilakukan dari sekarang melalui penganggaran yang memadai untuk melakukan rekayasa sosial tersebut. Sayangnya, rekayasa sosial ini masih dipahami pemerintah hanya dengan cara sosialisasi dan imbauan. (Iwan Santosa/ Muhammad Zaid Wahyudi/ Ester Lince Napitupulu)

Kamis, 29 Januari 2009

Melayani itu Pekerjaan Pemimpin atau Pekerjaan Pembantu?

Ada sebuah obrolan yang tanpa sengaja saya 'kuping' tentang roling posisi tugas perawat di sebuah rumah sakit. Mereka senang adanya roling karena ingin segera pindah dari perawat kelas VIP ke kelas biasa. Karena merasa sebagai perawat di kelas VIP seolah-olah jadi pembantu. Diminta ini itu, tidak bisa santai, tidak biasa marah atau cemberut seperti ketika berada di ruang kelas bawah.

Sebenarnya dengan adanya kelas VIP rumah sakit bisa meningkatkan kesejahteraan pegawai termasuk dokter dan perawat. Rumah sakit juga bisa memberi subsidi silang untuk kelas ekonomi atau pasien JPS dengan lebih baik. Mungkin pemahaman ini belum mereka tangkap apalagi konsep 'melayani' dihubungkan dengan membantu orang lain dan itu bagian dari kesempurnaan agama seseorang.

Saya ingat bagaimana kisah para sahabat, khususnya para kholifah Rasulullah SAW seperti Abu bakar, Umar, Usman atau Ali. Mereka bekerja siang malam melayani umat dan hanya mengambil sedikit gaji mereka dari baitul mal. Makan roti keras, baju cuma selembar apalagi istana. Bukannya tidak mampu negara menggaji mereka, tetapi kehendak mereka mengambil hanya sedikit, bahkan yang ada di rumah sebagian besar mereka infaqkan.

Barangkali perawat itu cerminan diri saya juga. Maunya kerja enak, tanpa tekanan kalau perlu malah menekan, mengambil yang banyak. Karena saya pimpinan, karena saya yang pintar, karena saya yang berkuasa. Wajar saya dapat yang banyak.  

 

Sabtu, 24 Januari 2009

Organisasi Pembelajar

By: Eileen Rachman & Sylvina SavitriDate: 28-Jul-2008 Viewed: 876

Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh.  

Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi ’learning organization’. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai ’learning organization’ karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.

Menurut para ahli “In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata, dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasi saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah negara yang tidak serius mendesain proses pembelajaran bangsa?

Organisasi Pembelajar:Hasil ‘Shared Experiences”

Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar ‘asbun’ (=asbun), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait ‘lesson learned’ dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain. 

Suasana dalam organisasi pembelajar tidak mucul dalam suasana ‘sinau’ (=belajar intensif, bahasa jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana sih caranya?”, “Bagaimana kalau…”, berkumandang di rapat-rapat, yang membuat setiap orang di perusahaan seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada hentinya menyambut tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat. Kegagalan atau hampir gagal dan kesuksesan di lapanganlah yang menjadi fokus untuk memperoleh “lesson learned”, bukan semata teori. 

Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “customer friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang ‘menembus’ divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi perusahaan alias penuh birokrasi dan masih sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma. Tampaknya, organisasi pembelajar tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus. 

Senantiasa Tumbuhkan Aura ‘Waspada’

Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya, di perusahaan , kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir:”Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang ‘muda-muda’ saja yang mempelajarinya”. Sikap ‘layu’ inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi. 

Seorang yang kuat belajar pasti meyakini bahwa dia bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun. Hanya saja karena proses belajar tidak dilakukan dalam waktu tertentu dan disengaja, maka kita sebagai individulah yang perlu aktif menangkap signal atau gejala yang secara signifikan bisa menambah wawasan kita, sendiri. Disinilah sikap waspada kita sangat diperlukan.

Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit

Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas “customer service”-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah ‘brutal facts’ dan ‘bad news’ yang bertubi-tubi dan membuat semua orang ‘shock’, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk ‘belajar’ dan mengembangkan diri. 

Sebuah studi menemukan bahwa 70% dari pembelajaran di tempat kerja bersifat informal, misalnya dari observasi dan refleksi dari pengalaman individu, tim, perusahaan dan pihak lain. Kita lihat bahwa dalam pembelajaran di tempat kerja, dosis “action” dalam proses belajar memakan hampir seluruh materi pembelajaran. Pencanangan target dan tujuan, rotasi jabatan dan kerjasama lintas fungsi justru merupakan kegiatan ‘belajar’ yang terpenting. Saat semangat untuk belajar, memperbaiki diri dan berubah sudah bangkit dan berapi-api, barulah kemudian pelatihan dan pembelajaran formal bisa lebih efektif sebagai tindak lanjut.  


(Ditayangkan di KOMPAS, 26 Juli 2008)

Jumat, 23 Januari 2009

Ngeblog Lagi

Sesuai dengan judulnya, saya mau ngeblog lagi. Kok ngeblog lagi? Dulu pada saat ramai-ramai bikin blog, saya sempat buat blog. Posting pertama sekaligus yang terakhir. Bukan karena alasan sibuk, tetapi malas nulis itu alasan yang tepat. Memang nulis itu bukan pekerjaan gampang. Buktinya hanya sedikit orang yang sehari-hari di depan internet yang mau nulis. Dari sedikit itu hanya sedikit yang menjadi penulis betulan atau profesional.

Saya akan memulai dengan yang sederhana, menampilkan apa-apa yang pernah saya baca di koran, di majalah, di web, atau dari blog teman. Sebenarnya ingin menjadi penulis profesional. Setidaknya, semoga blog saya ini nasibnya tidak seperti blog lama saya. Amiin.