Sabtu, 14 Februari 2009

Penjara Sebagai Pertolongan Terendah

Ditulis oleh Emha Ainun Nadjib‚ Sabtu, 20 Desember 2008 11:03‚

Lia Aminudin ditangkap lagi, menjadi tersangka lagi dan akan masuk bui lagi. Mbak Lia bukan orang jahat, dan juga insyaallah tidak berniat jahat, di balik segala kabar-kabar dahsyat mengenai Jibrilnya, Ruhul Kudusnya, Kerajaan Sorganya, Imam Mahdinya dan apapun saja tambahan berikutnya. Dengan segala kerendahan hati ‘terpaksa’ saya ikut omong: Mbak Lia itu orang yang khilaf namun tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami kekhilafannya.

Namun 'software' untuk memahami kekhilafannya itu juga tidak terdapat di luar dirinya: pada hati tetangga-tetangganya, pada empati handai taulannya, pada system nilai masyarakatnya, pada hukum Negaranya, pada wacana ilmu ummatnya serta siapapun di muka bumi ini. Kita semua terkurung di dalam kelemahan kolektif yang membuat kita hampir selalu menempatkan diri pada posisi defensif dan sangat mudah merasa terancam, bahkan 'sekedar' oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.

Kita tidak memiliki demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial, bahkan juga tidak memiliki kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya dan kedalaman nurani keagamaan – untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani. Apapun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mohon maaf saya kutipkan pernyataan Beliau Allah SWT: "Andaikan air samudera dipakai sebagai tinta untuk menuliskan ilmu Allah, maka akan selalu habis dan kering sebelum tuntas ilmu itu engkau tuliskan, meskipun engkau tuangkan lagi dan lagi air memenuhi samudera itu berulang kali".

Lia hanya setetes air laut itu, dan kita setetes yang lain. Kita bersama Lia dan beratus Lia-Lia lainnya memiliki bekal posisi yang sama untuk saling berendah-hati dan mempertandingkan kesanggupan untuk "tahu diri". Pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kwalitasnya. Penjara adalah metoda yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.

10-8-2 dan Kontra-Hidayah

Sekitar 15 tahun yang lalu Lia Aminudin menemui saya diantarkan oleh Neno Warisman di Hotel Sofyan Betawi. Di tengah kesibukannya berdagang bunga kering ia merasa mendapatkan anugerah dari Allah diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit. 

Saya merasa disalahpahami oleh mereka berdua karena kedatangannya kepada saya adalah untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang musti ia lakukan selanjutnya dst. Tentu saya tidak memiliki pengetahuan, pengalaman, kredibilitas maupun kompetensi untuk mampu menjawab apa yang ditanyakannya. Tetapi karena wajib menghormati tamu maka saya spontan menjawab sekenanya. Saya mohon ampun kepada Tuhan karena jawaban-jawaban sok tahu itu, sambil menagih-Nya: "Ya Allah, tak mungkin bukan Engkau yang mengirimkan orang ini beserta keadaannya kepadaku, maka Engkau pulalah yang bertanggung jawab menyediakan segala fasilitas ilmu dan pengetahuan serta apapun untuk melayani tamu kiriman-Mu ini. Kalau tidak, ya Allah, apakah ada pihak lain yang sengaja mempermalukan hamba-Mu yang hina ini dengan ditabrakkan kepada situasi yang aku tak sanggup melayani".

Akhir dialog kami waktu itu saya memberanikan diri berpesan kepada Mbak Lia bahwa Allah memberikan hidayah-Nya kepada siapapun saja yang ia kehendaki. Mungkin ia menitipkan berkah tingkat tinggi kepada orang yang rendah di pandangan kita. Mungkin ia menyimpan rahasia petunjuk-Nya pada orang yang kita benci atau kita remehkan. Tapi kita tidak perlu "GR" oleh pengetahuan itu: mentang-mentang kita adalah orang yang tak berarti di tengah masyarakat maka siapa tahu justru Allah menghormati kita dengan menitipkan satu dua ilmu-Nya. Kita biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol. Kita waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual dan spiritual.

Agak gegabah saya kemukakan kepada Lia: "Mbak, kalau masuk ke dalam jiwamu melalui ubun-ubunmu pendaran sepuluh gelombang, maka insyaallah harus kita waspadai bahwa yang dari Allah kemungkinan hanya dua, sedangkan yang delapan adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari Dajjal, Jin, Iblis atau enerji dan gelombang-gelombang yang bukan dalam amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul di pikiran, hati dan pandangan batin langsung dianggap berasal dari Tuhan...."

Presidium Jin Gunung Kawi

Kemudian Mbak Lia diizinkan Allah menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra sangat berterima kasih kepadanya. Malam itu Mbak Lia datang ke Padang Bulan di Jombang, jam 02.00 malam seusai acara banyak jamaah antre diobati oleh Mbak Lia. Paginya saya antar beliau menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim, saya setiri sendiri jalan ratusan kilometer.

Setiap akan makan atau minum berhenti di warung, Mbak Lia selalu mengangkat tangannya, bilang kepada saya bahwa ia harus bertanya kepada Malaikat Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Selera Jibril ternyata OK juga, terkadang rawon terkadang nasi Padang.

Sepanjang perjalanan Jombang Bondowoso Malang, menurut Mbak Lia yang bertindak sebagai moderator: Sang Jibril menantang saya untuk "gayung bersambut". Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian sayapun bikin puisi balasan, lantas Jibril membalas lagi dan juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.

Ujung perjalanan kami hari itu adalah menjelang malam kami tiba di Gunung Kawi. Kami mendaki naik. Kendaraan kami parkir. Di suatu tempat Mbak Lia berantem ama Jin, beberapa Jin, semacam Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting membanting. Berguling-guling. Saya 'standby' saja di dekatnya. Sepanjang Mbak Lia tidak terjerumus ke dalam bahaya fisik yang serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti Jin-nya ngawur dan Mbak Lia terpojok, terluka, atau apalagi sampai pingsan dan menuju maut: sudah pasti saya tidak tinggal diam, sekurang-kurangnya saya teriak "Tolooong! Tolooong!" dan mencari Polsek terdekat.

Bereslah Indonesia

Setelah itu kami tak pernah berjumpa lagi sampai hari ini. Saya mendengar dan membaca tentang 'prestasi-prestasi' Mbak Lia yang semakin membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang "compatible" untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang 'menemani'.

Seingat saya Mbak Lia terakhir dulu sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.

Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultra-radikal menuju perbaikan yang ajaib karena 'backing'nya adalah Tuhan langsung. Kalau Maryam yang datang ke kita, maka sebagai ibundanya Rasul Cinta, pastilah teratasi masalah-masalah mendasar bangsa Indonesia dan seluruh dunia. Bahkan bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah.

Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk non-materi, bahkan bukan sekedar makhluk-frekwensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit -- meskipun beliau mandeg tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana "Cahaya Terpuji" (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.

Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tapi sekurang-kurangnya, jika Mbak Lia masuk penjara lagi, jasadnya di sel bui, tapi jiwanya merdeka. Bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta'lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi : dilacak dengan seksama apa sih sebenarnya "wahyu", bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma'unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan "mukjizat", "Ruh al-Quddus", "Adn", "Din", "Agama", dlsb. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula. *****

Dimuat di Harian Kompas Kolom Opini, Sabtu, 20 Desember 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar