Kamis, 12 Februari 2009

Pedagogik Guru

Kompas : Kamis, 12 Februari 2009 | 13:36 WIB 

Terbitnya UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen turut mengangkat disiplin pedagogik yang tengah dalam penantian "lonceng kematian". Terlebih lagi, terbitnya PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan standar pendidik memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi (Pasal 28, Ayat 1). Akibatnya, kini guru kembali "mencari" pedagogik sebagai salah satu kompetensinya.

Standar kompetensi pendidik diarahkan untuk memiliki kemampuan sebagai agen pembelajaran dan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun standar kualifikasi akademik pendidik harus memiliki tingkat akademik minimal berijazah S-1 atau D-4.

Kompetensi pedagogik meliputi penguasaan (a) karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan peserta didik, (b) konsep dan prinsip pendidikan, (c) konsep, prinsip, dan prosedur pengembangan kurikulum, (d) teori, prinsip, dan strategi pembelajaran, (e) penciptaan situasi pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian, (f) konsep, prinsip, prosedur, dan strategi bimbingan, (g) penerapan media pembelajaran termasuk teknologi, komunikasi, dan informasi, (h) prinsip, alat, prosedur penilaian proses, dan hasil belajar (Pasal 28, Ayat 3). Pedagogik yang hadir kembali di pentas guru seolah mengungkap suatu masa ketika di bangku sekolah guru.

Pedagogik hanya merupakan bagian terbatas dari pendidikan, yaitu tentang tindakan terhadap anak didik (atau usaha sengaja mempergunakan alat-alat) untuk mencapai tujuan pendidikan. Tindakan pedagogik, digolongkan para ahli, mencakup tiga hal utama, yaitu (a) menetapkan arah tujuan hidup anak didik, (b) memilih alternatif bantuan anak didik, dan (c) menggunakan cara (tindakan) untuk membantu anak didik. Arah anak didik

Menetapkan arah anak didik, tidak akan lepas dari persoalan tujuan hidup dan maknanya bagi anak, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Karena itu, tujuan hidup anak melekat pada nilai-nilai masyarakat dan perubahannya, serta merupakan tujuan hidup masyarakat di tempat anak berada. Wujud tujuan hidup tergambar dengan menjawab pertanyaan: bagaimana seharusnya hidup dalam masyarakat?

Apa karakteristik manusia yang dicita-citakan (manusia ideal) oleh masyarakat? Bagaimanakah gambaran kehidupan yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Jawabannya merupakan sumber acuan untuk penetapan arah tujuan hidup anak didik. Tugas pendidik, bertindak untuk menyerap (absorb) pengkristalan nilai yang terdapat dalam masyarakat dan perubahannya. Nilai itu kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup.

Bagaimana tujuan hidup harus dicapai oleh anak dalam perjalanan hidupnya merupakan tindakan pendidik berikutnya untuk dielaborasikan ke dalam tujuan pendidikan. Pengelaborasian tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan memerlukan kemampuan deduktif filosofis.

Dengan demikian, kedudukan filsafat dan filsafat pendidikan dalam keseluruhan pedagogik sangat berperan, terutama pada penentuan tujuan pendidikan, yaitu bagaimana menjabarkan/mengelaborasikan filsafat hidup atau tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan. Kesesuaian antara filsafat hidup dan tujuan pendidikan dapat menentukan hasil pendidikan yang akan dicapainya.

Jadi, guru dituntut memiliki kompetensi pedagogik yang berkenaan dengan mekanisme penyerapan kristalisasi nilai yang menjadi harapan masyarakat, kemudian dirumuskan menjadi tujuan pendidikan. Maka, kompetensi pedagogik guru kiranya terletak pada dimensi yang bersifat filosofis, terutama tentang filsafat pendidikan.

Persoalan pokok memilih alternatif bantuan anak didik menyangkut jawaban atas pertanyaan: apakah pandangan pendidik tentang hakikat anak didik? Atas hakikat anak didik, apakah cara bantuan dari pendidik itu? Pertama, tentang hakikat anak yang dikemukakan para ahli dan pandangannya itu berbeda-beda. Ada yang berpandangan bahwa anak ciptaan Tuhan. Ada pula pandangan bahwa anak lahir dari manusia yang telah berevolusi dari makhluk lain (primata).

Nietzsche memandang anak adalah unfixed animal. Dari pandangan itu, ditafsirkan bahwa anak menghayati dirinya sebagai perkembangan senantiasa. Ia adalah suatu transendensi diri yang terus-menerus (Fuad Hassan, 1981). Konsekuensi perbedaan pandangan tentang anak didik akan berbeda pula cara bantuan dari pendidiknya itu. Kedua, cara bantuan dari pendidik bagaimanakah yang efektif untuk mempersiapkan penyelenggaraan interaksi selama transendensi diri anak atau sepanjang perkembangannya? Ada beberapa alternatif cara bantuan yang satu sama lain berlawanan, yaitu pertama, memandang perjalanan hidup anak ditentukan oleh bakat yang dimilikinya untuk mengolah interaksi dengan lingkungan. Karena itu, cara bantuan pendidik sebatas mengawasi lingkungan untuk berinteraksi anak.

Kedua, memandang perjalanan hidup anak belum berkemauan sehingga perlu dirangsang oleh lingkungannya agar anak berinteraksi. Cara bantuan pendidik adalah menciptakan lingkungan yang interaktif bagi anak. Hal ini penting karena lingkungan berpengaruh besar bagi keberhasilan anak.

Ketiga, memandang perjalanan hidup anak merupakan sintesis antara bakat dan pengaruh lingkungan. Pandangan ini bernama konvergensi. Cara bantuan pendidik adalah usaha memadukan antara bakat anak dan penciptaan penataan dan iklim lingkungan.

Cara memengaruhi

Di samping alternatif di atas, usaha membentuk keberhasilan cita-cita anak itu yaitu para pendidik pun harus percaya adanya nasib dan takdir bagi manusia, termasuk anak, yaitu bagaimana pendidik memengaruhi anak seefektif mungkin supaya cita-cita anak tercapai/terwujud.

Cara memengaruhi anak dipengaruhi kondisi variabel: jenis kelamin, posisi anak, cita-cita anak, waktu, dan kepribadian pendidik. Cara memengaruhi anak dengan jenis kelamin laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Posisi anak sulung berbeda dengan anak bungsu, tengah, tunggal, dan satu anak wanita di antara sejumlah anak laki-laki atau sebaliknya.

Demikian pula cara memengaruhi anak yang bercita-cita menjadi pebisnis akan berbeda dengan anak yang bercita-cita menjadi olahragawan atau musisi. Cara memengaruhi anak pada waktu lalu adalah dengan mendongeng sebelum gencarnya media massa, sedangkan sekarang bisa melalui buku, film, VCD, dan lain lain.

Kepribadian pendidik sangat menentukan cara memengaruhi anak karena bukan his so doing and his so saying, melainkan his so being. Cara memengaruhi anak bukan dengan perilaku dan nasihat belaka, melainkan juga dengan martabat pendidiknya. Moto bagi guru: "tak dapat mengajarkan apa yang diketahuinya, melainkan hanya dapat mengajarkan siapa orang (guru) it".

Jadi, kompetensi guru berkenaan dengan pedagogik seyogianya memerhatikan materi tentang filsafat hidup atau tujuan hidup masyarakat, pola asuh anak dalam masyarakat, dan kepribadian guru.

OONG KOMAR Dosen Pascasarjana UPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar