Sabtu, 31 Januari 2009

Terhormat

Minggu, 25 Januari 2009 | 02:03 WIB 
Samuel Mulia

Pada suatu hari saya bersama dua teman duduk-duduk menikmati sore yang mendung, atau saya lupa antara mendung dan menjelang malam.

Kami menyeruput minuman hangat dan kue kering yang menggemukkan. Satu dari teman saya bercerita. Cerita yang memberi saya inspirasi untuk tidak hanya menulis parodi minggu ini, tetapi mengevaluasi diri saya sendiri sebagai makhluk sosial, sok sial atau sial beneran. Begini ceritanya.

Adalah seorang tokoh, dia bertemu dengan teman saya dan seorang bawahannya. Pertemuan itu dibuat dalam rangka acara kumpul-kumpul sang tokoh dan konco-konconya dan teman saya bersama bawahannya itu menjadi penyelenggara acara itu. Bawahannya itu perempuan yang dianugerahi Tuhan Sang Pencipta bentuk badan aduhai dan payudara yang sama aduhainya.

Singkat cerita pertemuan itu berakhir. Beberapa waktu kemudian, teman saya itu ditelepon oleh sang tokoh untuk mengingatkan kalau acara kumpul-kumpul itu dilaksanakan ia mau bawahan teman saya itu berpakaian sopan. ”Jangan membuat saya malu. Yang akan hadir adalah teman-teman saya. Orang-orang terhormat.”

Bingung

Orang-orang terhormat. Itulah yang menggelitik. Menggelitik nurani saya untuk bertanya apa arti terhormat dan apakah saya masuk dalam kelompok itu?

Setelah pertemuan yang terjadi dua minggu lalu itu saya tak bisa konsentrasi. Kemudian saya berbicara dan berpikir untuk mengerti kata itu tanpa melihat kamus untuk tahu apa arti kata terhormat sesungguhnya.

Sebagai penulis, saya mulai keder dengan kata itu. Apakah selama ini tulisan saya telah membuat orang berpikir saya penulis terhormat? Kalau ya, apakah itu karena saya menulis di harian ini yang memang dianggap sebagai medium yang bisa membuat seorang menjadi terhormat? Karena harian ini sangat canggih, bahasa dan laporannya sangat akurat dan inggil. Jadi, saya terhormat bukan karena tulisan, tetapi karena kena imbas akan keterhormatan koran ini.

Sebaliknya apakah koran ini khususnya edisi Minggu menjadi tidak terhormat atau kurang dibandingkan edisi biasanya karena ada tulisan saya yang sama sekali tak membahas soal Obama, soal politik, serta soal ekonomi dan keuangan? Tulisan yang jauh dari memampukan orang mengernyitkan dahi, terlalu ringan dan mudah dimengerti, terlalu ecek-ecek, tulisan kepret.

Kemudian saya berandai-andai mendapat penghargaan Nobel karena tulisan kepret itu. Apakah kemudian saya penulis kepret ini mendadak terhormat di mata orang? Atau kemudian saya memandang diri sendiri menjadi penulis terhormat? Kemudian saya minta diganti status saya pada akhir tulisan, bukan sebagai pengamat mode dan gaya hidup lagi, tetapi menjadi pemenang Nobel.

Saya terus bertanya. Apakah kalau saya bergaul dengan pemabuk dan pelacur, saya berarti tak memiliki teman-teman terhormat? Apakah saya harus duduk dengan para bankir kondang, politikus, dan koruptor kondang? Apakah koruptor bukan manusia terhormat?

Buat saya mungkin tidak, tetapi buat anak-istrinya yang tiba-tiba bisa pakai mobil mewah dan bisa menyelesaikan pendidikannya di sekolah terbaik, ia adalah manusia yang akan dihormati anggota keluarga. Bagaimana tidak, ia bisa meningkatkan taraf hidup keluarganya. Bingung, bingung, bingung … aku bingung.

Mbak Monica

Kemudian saya terbayang pada kasus Mbak Monica Lewinsky dan Pak Clinton. Apakah tindakan Mbak Monica itu terhormat?

Nurani saya bilang, ”Yaaa… enggaklahhh, jeung….”

Namun, menurut saya, ia terhormat. Karena si Mbak melakukan hal-hal enak itu dengan Sang Presiden, yang pasti dianggap manusia terhormat. Jadi, dia terhormat karena melakukan dengan orang terhormat. Sama mungkin kalau saya kumpul-kumpul dengan kalangan terhormat, apa pun bentuk dan kegiatan yang dilakukan, maka saya di asosisasikan terhormat. Bukankah begitu?

Kemudian saya bertanya lagi, kalau saya diundang Mbak Monica untuk acara jamuan minum teh, akankah saya datang memenuhi undangan itu? Karena kalau saya hadir, bisa jadi saya diasosiasikan sebagai salah satu anggota ikatan pengganggu manusia terhormat.

Saya jadi ingat lagi soal tangan kiri dan tangan kanan. Contoh yang berkali-kali saya tulis karena mungkin sudah tak ada contoh lain. Saya tak pernah menghormati tangan kiri karena saya diajar tangan kiri itu kotor.

Sekarang saya berpikir, tangan kiri itu sangat terhormat, selain mulia, karena ia diciptakan untuk membersihkan yang kotor. Dan, seingat saya, tangan kiri itu justru tak pernah mengotori. Sekali lagi ia diciptakan untuk membersihkan yang kotor. Terhormatkah itu? Apakah karena membersihkan hal yang kotor, ia menjadi tidak terhormat. Bagaimana kalau dilihatnya dari sisi hal membersihkannya, yang kalau diterapkan dalam keseharian belum tentu semua orang bersedia melakukannya. Termasuk saya.

Obrolan sore menjelang malam itu melintas lagi di benak saya. Kalau bawahan teman saya itu diciptakan demikian dan cara berpakaiannya yang sopan masih saja mampu membuat orang terganggu, apakah itu seratus persen kesalahannya? Tidakkah mata yang menilai juga memiliki andil dalam menilai seseorang terhormat atau tidak?

Belum lagi kalau memperhitungkan mata itu memang mata yang dari sononya sudah biru seperti film esek-esek, tetapi tak kelihatan karena mata ”biru” itu dimiliki manusia terhormat. Saya belajar sesuatu, kalau saya mau menilai, mungkin mata saya dulu yang perlu dibenahi. Kalau perlu pakai kacamata dan kalau tak bisa juga, mending dicungkil saja.

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

Kilas Parodi

VIP atau VIP?

1. Saya pernah beberapa kali mendapat undangan dengan tulisan di sisi kanan atas tiga huruf sakti VIP dan beberapa VVIP. Terhormatkah saya dibandingkan dengan mereka yang tak VIP?

Harus saya akui, yaaahhh … saya merasa senang karena duduk terdepan bersama manusia terhormat itu. Untuk sesaat saya merasa juga terhormat. Tetapi setelah itu, setelah saya pulang ke rumah, saya pulang ke rumah orang yang menyimpan saya. Atau ke rumah yang atas nama saya, tetapi didapat dari hasil lenguhan. ”Kudaaa… kale,” nurani saya berkicau seperti biasa.

Masihkah saya terhormat? Ternyata terhormat itu bisa jam-jaman seperti ke panti pijat. Saat tertentu saya benar VVIP atau VIP alias very very important person, tiga jam kemudian saya masih tetap VVIP atau VIP, alias very very idiot person.

2. Nama yang saya pakai sehari-hari adalah seperti yang Anda baca pada akhir artikel ini. Padahal, saya punya nama tengah. Budiawan. Dulu dan sampai sekarang saya malu mengapa bapak saya memberi nama tengah demikian.

Bukan soal jelek atau bagus, hanya saja dampaknya yang harus saya tanggung. Budiawankah saya? Seseorang yang berbudikah saya? Karena kalau saya berbudi apakah itu juga terhormat?

Masalahnya perjalanan hidup saya memperlihatkan bahwa saya jauh dari berbudi. Apalagi kalau Anda tanyakan kepada teman saya dan mereka yang membenci saya sampai hari ini. Saya tak menyalahkan mereka. Karena memang demikian adanya.

Jadi, nama saya itu memberatkan saya, mengharuskan saya melakukan perilaku yang sesuai dengan nama. Mau ganti nama malah makin malu saja. Bisa jadi ada baiknya ayah saya memberi nama saya begitu, supaya bisa sebagai pagar untuk tidak hidup nyeleneh. Siapa tahu saya bisa terhormat dengan itu. Hi-hi-hi....

3. Terhormatkah saya kalau saya ini keturunan darah biru? Saya tak mengerti mengapa disebut darah biru lha wong darah itu merah.

”Itu bedanya sama kamu, Jeung. Merah itu standar, enggak berkelas. Semua orang darahnya merah. Sama saja. Untuk berbeda maka biru saja. Jadi ketok bedo. Terpinggirkan dan yang tak terpinggirkan,” nurani saya berbunyi lagi.

Terus saya berbicara di dalam hati. Tetapi, biru itu kan artinya enggak selalu bagus. Film biru. I’m feeling blue, misalnya. ”Walah kalau itu I ndak ikut-ikut,” nurani saya berkomentar lagi. Saya suka lupa kalau bicara sendiri itu yaa… bicara sama nurani saya. Saya ini memang bego, sukanya memancing macan tidur. ”Mas, mancing itu ikan, bukan macan tidur,” kata nurani itu lagi. (Samuel Mulia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar