Jumat, 03 April 2009

Pendidikan yang Curang

DIDAKTIKA
Kompas : Senin, 26 Mei 2008 03:00 WIB
Nurhaji Ali Khosim


Siang itu, di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sedang berlangsung ujian tengah semester untuk kelas VI. Seorang ibu guru dengan tekun mengawasi anak didiknya. Murid-murid terlihat serius mengerjakan soal ujian.

Sekilas tidak ada yang aneh di dalam kelas itu. Tetapi, ibu guru tadi tidak bisa ditipu oleh tingkah murid-muridnya. Bagaimana tidak, sedikit lengah, anak-anak SD itu dengan terang-terangan di hadapan gurunya berani mencontek hasil pekerjaan temannya atau menjiplak buku yang ada di dalam laci bangku tanpa merasa bersalah.

Ibu guru itu bingung, tidak tahu harus berbuat apa agar anak-anak itu jera dan tidak berbuat curang lagi. Tidak ada sedikit rasa takut pada anak-anak itu ketika berbuat curang.

Dia tidak mungkin memukul atau menggunakan kekerasan fisik untuk membuat jera karena tindakan tersebut jelas akan ”melanggar HAM”. Tidak mungkin pula dia mengeluarkan anak-anak tersebut dari ruang kelas karena hampir semua murid mencontek atau menjiplak.

Memberi nilai jelek juga bukan solusi cerdas karena dia akan berhadapan langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan prestasi sekolah. Memberi peringatan dan ancaman malah menjadi bumerang bagi dia karena bisa dipastikan muridnya akan balik mengancam.

Ibu guru itu hanya berharap murid-muridnya segera lulus. Tidak lagi menjadi beban ataupun ancaman bagi dia maupun sekolah. Dia tidak lagi peduli, apakah siswa itu layak lulus atau tidak. Yang penting anak-anak didiknya akan lulus dengan nilai memuaskan, meskipun nilai tersebut didapat dengan cara curang.
Budaya Menjiplak

Cerita di atas bukanlah ilustrasi atau rekayasa. Itu adalah kenyataan pahit yang terjadi pada dunia pendidikan kita. Berlaku curang dalam mengerjakan soal telah menjadi budaya pelaku pendidikan di Indonesia, dari anak-anak sekolah dasar sampai mereka yang kuliah pascasarjana.

Mencontek dan menjiplak bukan dominasi murid sekolah. Banyak ditemukan, skripsi dan tesis mahasiswa pascasarjana yang hanya copy-paste (proses mencetak ulang-menempel di komputer) dari karya orang lain. Bahkan juga guru-guru yang mengikuti seminar dan diklat bohong-bohongan hanya demi selembar sertifikat.

Pada tingkat sekolah dasar, berbagai trik dan cara dilakukan siswa untuk mencontek dengan cara sangat sempurna. Dari menyalin pelajaran di kertas-kertas kecil kemudian diselipkan di tempat tertentu hingga menulis materi pelajaran di meja. Mereka yang melek teknologi informasi dapat memanfaatkan telepon genggam sebagai sarana mencontek.

Mereka yang orangtuanya kelebihan uang dapat membeli bocoran soal dan kunci jawabannya sekaligus. Yang paling licik, mereka selalu mengawasi guru, yang seharusnya mengawasi murid-murid itu. Bekerja dengan usaha sendiri dan perilaku jujur sudah menjadi barang langka.

Mengapa siswa sekolah yang seharusnya telah mendapatkan pelajaran budi pekerti itu berlaku tidak jujur?

Sering Dibohongi

Anak-anak berlaku curang karena sering dibohongi. Orangtua yang sering berkata bohong, membeli buku lembar kerja siswa yang isinya bohong belaka, terlalu sering melihat iklan televisi yang banyak bohongnya, hingga tayangan sinetron TV yang ceritanya juga melulu bohong.

Imbauan kepada anak didik agar selalu rajin belajar dan selalu berkata jujur akhirnya hanya menjadi omong kosong. Imbauan itu sama sekali tidak mempunyai makna jika anak didik tersebut tidak mendapatkan contoh nyata dari guru dan dari orangtua sendiri.

Anak-anak akan merespons dan akhirnya meniru perilaku orang dewasa. Perilaku anak-anak dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap perilaku orang lain.

Tuntutan dari sekolah maupun dari orangtua untuk selalu mendapatkan nilai tinggi pada akhirnya memberi ruang gerak bagi siswa untuk melakukan perbuatan curang. Malas berpikir dan mencari jalan pintas adalah solusi.
Peran guru dan orangtua

Saatnya guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, orangtua, ataupun dinas pendidikan menjadi contoh perbuatan yang berdasar kejujuran. Guru tidak perlu membantu mengerjakan soal ujian hanya demi nilai tinggi.

Kepala sekolah juga tidak perlu menyogok karena hanya ingin menjadi pengawas sekolah. Begitu pula dengan dinas pendidikan, jangan memaksa kepala sekolah agar siswa sekolah binaannya lulus 100 persen.

Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai harus dilakukan. Perilaku jujur bagi siswa merupakan modal menuju pendidikan ke arah lebih baik. Anak-anak hanya butuh contoh yang baik dari guru dan orangtua. Tidak lebih dari itu.
NURHAJI ALI KHOSIM Guru SD, Mengajar di Klaten; khosimjo@gmail.com

Pak Guru Siapkah Bersaing dengan Internet?

Kompas.Com : Selasa, 10 Maret 2009
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono

PESATNYA arus globalisasi serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)saat ini menuntut perubahan sikap dan pola pikir guru. Sebab, peran guru saat ini makin tersaingi dengan keberadaan internet dan televisi. Sekolah melalui gurunya harus bisa menjadi lembaga yang tidak sekadar transfer ilmu, tetapi juga nilai-nilai luhur.
Demikian benang merah imbauan yang disampaikan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf saat menjadi pembicara keynote dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Majalah Guruku, Selasa (10/3) di Sabuga. Kegiatan yang diadakan cuma-cuma ini diikuti sekitar 1.500 guru se-Bandung Raya.
Menurutnya, internet dan televisi sebetulnya merupakan alternatif sumber belajar. Namun, pada kenyataannya, tidak jarang ini menggeser peran guru sebagai penyampai ilmu. "Saya terkejut anak saya yang baru berumur 8 tahun sudah pandai buka-buka website. Ditanya dia ikut les atau tidak, ternyata dia jawab tidak," tuturnya.
Dari pengalaman ini muncul pesan, internet dalam wadah TIK merupakan sumber yang luas untuk belajar. Jika guru tidak memutakhirkan dirinya terhadap perkembangan TIK, ucapnya, maka daya saing bangsa akan kian tertinggal. "Ke depan kan bakal banyak guru-guru asing mengajar di Indonesia, khususnya Jabar. Yang saya khawatirkan, justru mereka berasal dari Negara Jiran. Ini adalah tantangan."
Fenomena situs jaringan pencari kawan macam Friendster dan Facebook, ucapnya makin menegaskan fenomena masyarakat digital. Dalam konsep ini, masyarakat bagaikan sebuah keluarga besar yang melintasi batas wilayah dan saling aktif bertukar informasi. Sekolah, ucapnya, merupakan benteng untuk menyaring budaya global yang tidak sesuai budaya lokal. Di sinilah sekolah berperan sebagai lembaga transfer nilai.
Dalam kuliah umum, Kepala Subbidang Penghargaan dan Perlindungan Guru Direktorat Jenderal Depdiknas RI Dian Mahsnah mengatakan, guru sejatinya tetap kunci dalam proses pembelajaran. Namun, sebagai agen perubahan, guru dituntut harus mampu melakukan validasi-memperbaharui kemampuannya, sesuai dengan tuntutan zaman agar tidak tertinggal.

Krisis guru idola

Menyinggung soal masih banyaknya guru yang gagap teknologi, menurutnya, hal ini lebih disebabkan karena faktor individu, enggan memperbaiki diri. Dengan adanya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), guru sebetulnya dituntut lebih memberdayakan TIK untuk proses pembelajaran bermutu. Demikian diucapkannya.
Hal yang tidak kalah penting adalah membiasakan mengajar dengan menyenangkan. Dengan demikian, pembelajaran menjadi semakin menarik bagi siswa. Berdasarkan survei yang disampaikannya, saat ini tengah terjadi krisis guru idola di Indonesia. Tingkat kepanutan guru di mata siswa hanya 58 persen. Kalah jauh dibandingkan tingkat panutan orangtua (90 persen), bahkan sesama teman sebaya (88 persen).
Menurut Pemimpin Redaksi Majalah Guruku Ismed Hasan Putro, guru merupakan penentu peradaban suatu bangsa, ujung tombak pendidikan. Selayaknya, anggaran 20 persen untuk pendidikan, 40 persennya diarahkan untuk perbaikan kesejahteraan guru. Demikian dikatakan Ketua Masyarakat Profesional Madani ini.

PTN dan Komersialisasi Pendidikan

Kompas : Selasa, 4 Maret 2008 Teuku Kemal Fasya

Ide pendirian Badan Hukum Pendidikan atau BHP kembali mencuat. Namun, reaksi negatif ditunjukkan sivitas akademika atas upaya pengubahan perguruan tinggi negeri menjadi BHP.

Aksi besar-besaran mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, menolak konsep BHP beberapa waktu lalu menjadi sinyal, ini bukan solusi tepat memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan. BHP adalah aroma baru bagi komersialisasi pendidikan tinggi.

Mitos otonomi

Rencana pembentukan BHP merupakan penajaman konsep yang lebih dahulu bergulir, yaitu perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang dianggap ”berhasil” memandirikan pengelolaan kampus. Anehnya, rancangan undang-undang PT BHMN yang bergulir sejak pemerintahan Megawati tidak kunjung disahkan.

Yang terbaca dalam fungsi praksis RUU, lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional dengan memberi keleluasaan BHP mencari jejaring modal lain yang bersedia membiayai, baik dalam maupun luar negeri (Pasal 2 alternatif). Dua sisi keping mata uang dari fungsi PT BHMN dan postur BHP dapat terbaca dalam RUU BHP. PT BHMN otomatis akan menjadi BHP jika rancangan itu disahkan DPR {Pasal 55 (1) RUU BHP}.

Sisi ”jualan” pendidikan nasional seakan telah dinaturalisasi negara. Sistem pendidikan nasional yang dikembangkan sejak masa Daoed Joesoef, dilanjutkan pengembangan aspek link and match yang menegosiasikan tujuan pendidikan dan pasar kerja, memungkinkan pendidikan tidak mengarah pada tujuan kritis (critical sciences), tetapi pragmatis.

Akan tetapi, konsep BHP kian mengarah pada titik ekstrem. Bukan hanya dunia kerja yang komersial, melainkan institusi pendidikan pun menjadi pasar. Padahal, institusi pendidikan harus jauh dari semangat pasar. Ia harus berdiri sebagai ”blok historis” yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putri terbaik yang mampu membaca tanda- tanda zaman.

Pembentukan BHP (seperti fenomena di UGM dan UI ) telah membuka kesempatan bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Melalui jalur non-SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru), kian banyak mahasiswa borjuis berkemampuan rendah bisa masuk kampus elite (BHMN) dan menyisihkan mahasiswa cerdas yang secara ekonomis kurang mampu.

Konsep otonomi telah diterjemahkan secara superfisial. Otonomi pendidikan seharusnya dirakit untuk merumuskan kurikulum dan kekhasan intelektual (berbasis lokal dan kompetensi), tetapi malah menjadi alat politis dan mesin ekonomi. Rengkuhan ekonomis tentu mengimpit sisi penting pendidikan (kultural, spiritual, mental) karena kalkulasinya berdasar prinsip manajemen korporatis, bukan ilmiah.

Maka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan upaya mem- BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, minimal 50 persen hingga tahun 2009 menjadi kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi {Pasal 4 (1) UU No 20/2003}.

Pengalihan tanggung jawab

Upaya pengesahan RUU BHP merupakan pelanggaran fundamental pedagogi, yaitu pendidikan sebagai kebaikan bagi semua orang (bonum commune). Pendidikan, seperti kata Paulo Freire, harus menjadi praksis yang membebaskan, termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan.

Ada tuduhan, pembentukan BHP dikhawatirkan memberi kesempatan resmi menyisipkan aroma politis lain yang bisa digunakan pimpinan kampus guna melanggengkan kepentingan.
Maraknya pemeriksaan dan pengusutan rektor PTN yang ditengarai menyelewengkan anggaran pendidikan menjadikan konsep BHP sebagai ”pelarian paling sempurna” dari endusan BPK, BPKP, inspektorat, dan kejaksaan. Perguruan tinggi BHP tak bisa digugat pengelolaan anggarannya karena bukan institusi negara, melainkan institusi publik. Pertanggungjawaban beralih dari Mendiknas ke Majelis Wali Amanat (MWA).
Dengan kultur paternalistik yang masih kental, rektor dengan mudah mengintervensi MWA. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rektor. Sivitas akademika hanya pasir dan kayu tumbuk organisasi pendidikan dan pengajaran tanpa hak mengontrol kebijakan kampus.

Sebagai pengajar di sebuah PTN muda dari daerah yang masih miskin akibat konflik dan bencana, penulis tak siap melihat nasib lembaga pendidikan menjadi firma tanpa semangat kekeluargaan sivitas akademika.

Teuku Kemal Fasya Ketua Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe