Senin, 23 Maret 2009

"Copy Paste"

Parodi
Kompas : Minggu, 22 Maret 2009 | 03:00 WIB
Samuel Mulia


Saya membaca bukunya Warren Buffett. Tahukah Anda siapa dia? Capcai ah… cari aja ndiri. He-he-he … saya bercanda, jangan naik pitam dulu. Cepat marah itu tak sehat. Katanya. Saya membuktikan itu benar adanya. Yang sehat saya, yang tidak sehat orang lain, maksudnya.

Warren Buffett adalah nama seorang pria, sampun sepuh, pemilik perusahaan investasi terkemuka di Amrik, bukan di Indonesia.

Mengapa saya membeli buku salah satu orang terkaya yang sempat menggeser posisi Bill Gates sebagai juara satu itu? Hanya satu alasan saja. Saya ingin kaya seperti Pak Buffett. Sama seperti keinginan manusia umumnya. Maksud saya, manusia yang umumnya memang senang uang. Mau itu dasarnya rakus, setengah rakus, atau baru mau jadi rakus.

Bercita-cita menjadi Buffet

Padahal, di sebuah majalah yang pernah saya baca, Pak Buffett tak pernah bercita-cita jadi kaya meski ia pandai mencari uang sejak kecil saat teman-temannya belum punya niat mendapatkan uang seperti dia. Saya justru selalu bercita-cita jadi kaya sejak kecil, tetapi tak punya naluri seperti Pak Buffett.

Makanya sampai sekarang cita-cita saya itu masih menyala-nyala karena waktu kecil bisanya cuma mainan, setelah remaja dan setengah dewasa masih minta uang ke Ayah. Sekolah di dalam dan luar negeri juga atas biaya ortu karena Tuhan menganugerahi saya otak yang tidak memungkinkan mendapat beasiswa. Maka. kalau saya berdoa untuk Ayah, doanya semoga ia diberi panjang umur. Alasannya bukan karena saya anak berhati mulia, tetapi agar Ayah tetap hidup dan punya uang. Selama ia masih hidup dan punya uang, selama itu saya bisa mendapatkan ”beasiswa”.

Kalau melihat keadaan saya dan membandingkan dengan Pak Buffett, weleh, weleh, saya kok cuma punya apartemen di daerah bintang tujuh. Pusing maksudnya. Karena bus, kopaja, dan teman-temannya sering kali membuat taksi atau kalau kebetulan diantar mobil teman, kesulitan menyeberang jalan masuk.

Sampai hari ini saya tak punya pulau pribadi atau pesawat pribadi. Sementara teman saya dan temannya teman saya itu malah sudah bolak-balik terbang dengan ”kendaraan” pribadinya itu dan mengundang saya sesekali ke pulau. Sesekali lho karena mereka tidak menganggap saya teman dekat.

Seperti pesta jetset yang saya hadiri dua minggu lalu, yang telah membuat beberapa kalangan jetset yang tak diundang mengajukan aksi protes. Tak sampai demo, tentunya, tetapi sudah cukup membuat pihak pengundang kewalahan menjawab pertanyaan, mengapa saya tak diundang. Saya sampai geleng kepala, sebegitu pentingnyakah atau perlunya sampai mereka harus protes?

Saya teringat dahulu, kala saya masih seperti itu. Harus diakui ada rasa tersisihkan karena tak diundang dan merasa tidak dianggap. Tak bisa sama seperti yang diundang. Jadi, dulu saya ini tukang minta-minta. Minta diundang, maksudnya. Selalu bekerja keras, agar bisa hadir di mana-mana.

Menjadi ”Buffet”

Nah, saat saya berlibur di pulau teman itu saya menengadahkan kepala ke atas dan berkata. ”Tuhan di manakah letak keadilan yang beradab itu?” Kok orang sampai bisa beli pulau, sementara tanah 200 meter persegi yang ditawarkan teman saya saja tak mampu saya beli. Teman saya mengajarkan untuk copy paste gaya para koruptor.

Sempat saya pikirkan ide itu. Tetapi, di buku yang saya baca, Pak Buffett tak korupsi. Namanya juga lagi getol mau seperti Pak Buffett, yaaa … saya pikir nurut apa kata dia saja.

Kalau Pak Buffett bermain saham, saya juga bermain saham. Pasar lagi ambruk, saya juga ikut ambruk. Tetapi, pesan seorang penulis mengenai Pak Buffett, yang saya baca di sebuah majalah keuangan buatan Indonesia, begini, ”Ingat strategi Buffett, ia membeli saham ketika pasar sedang jatuh. Ia berani masuk ketika orang lain takut. Dan, hasilnya, ia rasakan dalam jangka panjang.” Makanya, saya masuk ke pasar saham di tengah pasar yang gitu deh itu.

Kemudian saya tertawa. Maksud saya, menertawakan diri sendiri. Saya tak membaca dengan hati-hati kalimat si penulis tadi. Ia berani masuk ketika orang takut. Der… saya terdiam, tertunduk tanda tak mampu. Saya hanya ingin seperti dia, saya lupa instrumen lain yang dia miliki tak saya miliki.

Saya pengecut, tak berani seperti Buffett. Saya tak punya nyali seperti Buffett. Jadi, mau kaya ternyata bukan cuma baca bukunya, tetapi nyali dan luck juga menentukan. Itu kemudian yang membuat saya mundur teratur untuk tidak melakukan copy paste.

Buffett dan saya dua sosok berbeda. Yang tak memiliki kekuatan mental sama. Setelah saya kehilangan lebih dari 50 persen investasi, saya seperti dihujam pisau. Dengan mental macam tempe, saya kapok. Itu yang membedakan saya dari orang terkaya itu. Dia tidak takut, saya takut.

Dan, justru yang lebih penting dari semua itu adalah sensitivitas. Tingkat kepekaan yang berbeda. Saya tak memiliki kepekaan yang sama. Bahkan, saya tak peka kapan harus menarik dan kapan harus mengulur. Nalar saya tak secanggih milik pria sepuh itu saat bermain ”layangan”. Saya canggih main tarik-ulur di tempat lain.

Maka, setelah saya membaca buku Pak Buffett, saya salut dengan dia. Saya memutuskan berhenti menjadi kaya seperti dirinya. Karena kemampuan saya menjadi kaya bukan hanya bermodalkan membaca bukunya dan mendengar teori bermain layangan. Saya perlu banyak hal dan ada instrumen lain yang diperlukan untuk itu. Instrumen itu tak ada pada saya.

Nurani saya nyeletuk, ”Mas, lo enggak bakal jadi seperti Buffett. Jadi, seperti buffet, ya.”

Sabtu, 21 Maret 2009

Belajar dari Orang Kaya

Kompas : Minggu, 22 Maret 2009 | 02:26 WIB 

Elvyn G MasassyaPraktisi Keuangan

Arti kaya bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang mendefinisikan sebagai banyaknya aset, tidak peduli apakah utang sejibun. Ada yang lebih realistis, mengartikan kaya sebagai banyaknya nilai aset bersih, yakni harta dikurangi utang. Bagi yang lain, kaya adalah kondisi di mana aset dapat memberi manfaat kepada pemilik, bukan dilihat dari besar kecilnya aset.

Lalu, kenapa ada yang menjadi sangat kaya, ada pula yang merasa asetnya tidak pernah bertambah? Bagaimana menumbuhkembangkan kekayaan? Benarkah karena nasib baik atau karena kerja keras? Atau apa?

Bagi yang skeptis mungkin akan mengatakan banyak orang menjadi kaya karena korupsi atau karena diberi kesempatan berbisnis melalui jalar nepotisme.

Padahal, cukup banyak orang menjadi kaya karena kepiawaian melakukan investasi dan atau berbisnis dengan cara baik dan benar.

Namun, lepas dari itu, tidak ada salahnya kita cermati bagaimana orang-orang tersebut menjadi kaya. Apakah ada hal berbeda yang mereka lakukan dibandingkan dengan orang kebanyakan? Paling tidak, layak dicermati sikap, tindakan, dan atau perilaku mereka dari sisi positif sebagai referensi. Lantas apa saja perilaku tersebut?

Keinginan kuat

Pertama, cara berpikir. Orang kaya pada dasarnya memiliki pemikiran mencari uang dan harta adalah suatu kemestian. Tujuannya bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Secara prinsip mereka memiliki keinginan kuat mendapatkan uang dan kekayaan. Jadi, mereka tidak pernah beranggapan uang adalah hal jelek atau kurang baik. Mencari uang sebanyak-banyaknya merupakan hal lazim. Niat dan keinginan mendapatkan uang dan melipatgandakannya sangatlah kuat.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda memiliki niat kuat? Katakanlah Anda bekerja sebagai karyawan dan mendapatkan gaji, apakah Anda memiliki niat agar gaji Anda bisa meningkat? Atau Anda nrimo saja menunggu penyesuaian gaji sehubungan dengan laju inflasi?

Kedua, memahami makna kekayaan dan memiliki target. Orang kaya umumnya mengetahui dengan pasti jumlah kekayaan dan peruntukannya, termasuk ketika menggunakan kekayaan tersebut.

Mereka memiliki banyak uang dan kemudian sebagian disumbangkan, misalnya ke panti asuhan. Tujuan menyumbang macam-macam, termasuk, misalnya, agar mereka merasa lebih bahagia. Dengan kata lain, kekayaan yang dicari memiliki kejelasan makna.

Dus, kalau Anda ingin menjadi lebih kaya ada baiknya juga memahami dengan pasti apa tujuan kekayaan yang hendak Anda raih. Ini seperti ketika Anda mengendarai kendaraan. Mesti jelas tujuannya ke mana, Anda juga memilih jalan yang Anda rasa paling sesuai untuk mencapainya, serta memahami konsekuensinya. Misalnya, terjebak macet atau membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan jika jalan yang Anda pilih berputar-putar.

Simpan rahasia

Ketiga, memahami kapan kekayaan akan dicapai. Kita kerap mendengar kisah para konglomerat yang awalnya hidup sangat sederhana. Mereka bahkan rela tidak membeli pakaian bagus dan tidak makan enak dalam kurun waktu cukup panjang. Hasil keuntungan kegiatan bisnis dia kumpulkan untuk kemudian menjadi tambahan modal usaha.

Dengan kata lain, orang-orang yang kaya berdasarkan hasil bisnis tidak mencapainya dalam jangka pendek, tetapi mereka yakin dengan kerja keras dan disiplin kekayaan itu akan dicapai. Bisa dalam kurun waktu 10 tahun atau bahkan lebih.

Dengan latar belakang ini bisa dipahami, menjadi kaya sebenarnya bukan upaya yang dicapai dalam waktu singkat. Jika Anda berinvestasi, hasil investasi yang besar hanya bisa dicapai dalam waktu panjang, tidak serakah, sabar, dan konsisten dalam melakukan investasi.

Analogi untuk menggambarkan konsep ini sama seperti ketika Anda mengemudikan kendaraan. Harus jelas tujuannya, jam berapa Anda harapkan tiba di tujuan, dan jalan mana yang dipilih. Ada sistematika di sini.

Keempat, menyimpan rahasia untuk diri sendiri. Coba tanyakan kepada orang-orang kaya, apa resep hingga mereka menjadi kaya. Pasti sebagian besar akan menjawab, kerja keras. Itu memang benar.

Namun, kerja keras seperti apa yang dimaksud? Belum tentu sama pengertian kerja keras versi orang kaya dengan kalangan kebanyakan. Artinya apa? Artinya, orang-orang kaya memiliki strategi rahasia yang belum tentu dibagikan kepada orang lain.

Makna tulisan ini, jika Anda sudah memiliki keyakinan mengenai langkah yang akan Anda tempuh, cukup simpan untuk diri sendiri. Tidak perlu terlalu banyak bertanya atau bercerita kepada orang lain mengenai strategi di benak Anda. Sebab, semakin banyak pendapat yang Anda terima, akan semakin goyahlah pendirian Anda. Kecuali Anda tergolong orang yang keukeuh dalam menjalani pendirian.

Selanjutnya, juga tidak perlu menyombongkan diri jika langkah yang Anda lakukan, misalnya berinvestasi di pasar modal, menuai keuntungan besar. Biarkan keuntungan menghampiri diri Anda, tetapi tetap bersikap rendah hati. Tidak perlu orang tahu Anda menjadi lebih kaya.

Selain hal-hal di atas, tentu saja masih banyak sikap, perilaku dan tindakan positif yang bisa dipelajari dari orang-orang kaya sebagai referensi dan pembelajaran bagaimana cara menjadi kaya. Ini disebut sebagai perilaku keuangan orang kaya. Hal-hal tersebut akan diulas dalam tulisan-tulisan mendatang.

Jumat, 20 Maret 2009

Mengubah Sampah Menjadi Sahabat

Kompas :Minggu, 8 Maret 2009 | 09:18 WIB

Oleh: Hari Susana/Ori

TEMAN-TEMAN tahu bagaimana caranya bersahabat dengan lingkungan? Ya, pasti dengan menjaga kebersihan lingkungan, menyayangi tanaman dan binatang. Kita juga tidak boleh membuang sampah sembarangan dan harus menghemat energi. Mencintai sampah juga boleh? Kita coba yuk.

Orang Indonesia kreatif

Sampah tidak selamanya menjadi musuh, tetapi bisa menjadi sahabat. Dengan kreativitas, kita bisa mengolah sampah menjadi barang yang bernilai seni.

Di Bali misalnya, ada Pak Made Sutamaya yang memanfaatkan sampah kayu pantai menjadi patung, meja, dan perabot yang antik dan unik. Di Lombok, ada Pak Mujiyanto yang mengolah pelepah pisang menjadi kertas dan barang-barang kerajinan yang cantik.

Di Jakarta, Pak Aswin Aditya mengubah sampah plastik menjadi aneka tas dan payung yang lucu. Ada juga perajin yang menggunakan bekas kemasan air mineral untuk dibuat menjadi lampu gantung yang sangat indah.

Ternyata melalui tangan-tangan orang kreatif, sampah yang kita buang bisa menjadi barang mahal dan berseni. Hebat lho orang Indonesia itu!

Bersahabat dengan sampah

Kita juga bisa menjadi orang hebat seperti mereka. Syaratnya, kita tidak takut berkreasi dengan sampah! Sampah apa pun, entah itu kertas, plastik, daun kering, biji-bijian, atau kain bekas bisa diolah kembali menjadi barang baru yang unik.

Langkah awal, kita mengumpulkan sampah yang ada di sekitar kita. Setelah itu baru kita bisa mereka-reka, apakah ada sampah yang bisa kita jadikan mainan, hiasan, atau wadah-wadah yang cantik, unik, dan bernilai seni.

Coba kita perhatikan sebuah kardus susu, kotak sabun, dan gulungan tisu. Barang-barang tadi bisa menjadi wadah serbaguna, seperti rumah-rumahan atau istana. Gulungan tisu juga bisa kita jadikan vas atau tempat pensil cantik.

Jadi, mulai sekarang jika di rumah ada kertas bekas, jangan dibuang. Kertas tersebut bisa dicampur air lalu dihancurkan dengan blender. Kemudian dicampur dengan lem dan dicetak beraneka bentuk. Setelah itu, dikeringkan dan diwarnai. Kita bisa membuat hiasan kulkas, gantungan kunci, dan hiasan dinding yang lucu dari bubur kertas ini.

Ajaklah saudara dan teman-teman untuk bergabung, pasti seru! Dengan mengolah sampah menjadi barang baru, berarti kita sudah mengurangi sampah di sekitar kita. Lingkungan jadi bersih dan nyaman.

Selain bisa diolah menjadi kerajinan, sampah juga bisa menjadi pupuk alami. Kita bisa meminta ibu memisahkan sampah dapur yang berupa sisa sayuran atau kulit buah dengan sampah plastik dan kertas. Sampah dapur tersebut dapat diolah menjadi kompos dan digunakan sebagai pupuk tanaman. Jadi, kita tak perlu repot-repot lagi membeli pupuk kimia.

***

Dari Botol Plastik dan Gulungan Tisu

Bahan:

Botol plastik atau gulungan tisu.

• Lem kayu

• Manik-manik atau pasir putih

• Gunting

• Hiasan tambahan seperti daun kering, biji-bijian, atau kertas berwarna-warni.

Cara membuat:

1. Potong botol plastik menggunakan gunting sesuai bentuk yang diinginkan. Untuk gulungan tisu, tutup salah satu sisinya yang berlubang dengan karton.

2. Olesi seluruh permukaannya dengan lem. Tempelkan pasir atau manik-manik di permukaannya.

3. Tambahkan hiasan seperti guntingan kertas, daun, biji-bijian, atau bunga kering. Wadah ini bisa dipakai sebagai tempat pensil atau vas.

Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Kompas : Jumat, 20 Maret 2009

A FERRY T INDRATNO
Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa.

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

Nilai-nilai yang disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus) dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.

Konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur. Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk menghasilkan tindakan.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.